Selasa, 16 Desember 2014

KANZUL KAROMI: UCAPAN SELAMAT NATAL DAN HUKUM MENGUCAPKANNYA KEPA...

KANZUL KAROMI: UCAPAN SELAMAT NATAL DAN HUKUM MENGUCAPKANNYA KEPA...: Setiap Tanggal 25 Desember  Umat Nasrani ( Baik Yang Katolik  Maupun Protestan) Merayakan Hari Raya Agama Mereka , Yaitu Hari Raya Natal, ...

UCAPAN SELAMAT NATAL DAN HUKUM MENGUCAPKANNYA KEPADA NON MUSLIM

Setiap Tanggal 25 Desember  Umat Nasrani ( Baik Yang Katolik  Maupun Protestan) Merayakan Hari Raya Agama Mereka, Yaitu Hari Raya Natal,  Natal Sendiri Mempunyai Arti Lahir Atau Kelahiran, Yaitu Hari Lahir Yesus Kristus Tuhan Mereka,  Di  Beberapa Sudut Pertokoan, Mall-Mall  Mulai Ramai Dengan Hiasan Natal Supermarket-Supermarket Yang Mulanya Sepi-Sepi Saja, Kini Dihiasi Dengan Pernak-Pernik Natal . Media Massa Pun Tidak Ketinggalan Ikut Memeriahkan Hari Raya Ini Dengan Menayangkan Acara-Acara Spesial Natal, Lalu Bagaimana Pandangan Hukum Menurut Syariat Islam ?
Baiklah Kita Ikuti Tanya Jawab Yang  Saya  Ambil Dari Berbagai Sumber.
PERTANYAAN
a. Bagaimanakah hukumnya seorang muslim mengucapkan “selamat hari natal” sebagai bentuk dari ukhuwwah al-Basyariyyah (toleransi sesama manusia) ?
b.Toleransi yang bagaimanakah yang diajarkan oleh syariat agama terhadap Non-Muslim ?
JAWABAN
Ada hadits, antara lain diriwayatkan oleh Imam Mulis—yang melarang seorang Muslim memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits tersebut menyatakan, “Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu bertemu mereka di jalan, jadikanlah mereka terpaksa ke pinggir.”
Ulama berbeda paham tentang makna larangan tersebut. Dalam kitab Subul as-Salam antara lain dikemukakan bahwa sebagian ulama bermadzhab Syafi’i tidak memahami larangan tersebut dalam arti haram, sehingga mereka memperbolehkan menyapa non-Muslim dengan ucapan salam. Pendapat ini merupakan juga pendapat sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Al-Qadhi Iyadh dan sekelompok ulama lain membolehkan mengucapkan salam kepada mereka kalau ada kebutuhan. Pendapat ini dianut juga oleh Alqamah dan al-Auza’i. 
Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu, karena agaknya larangan tersebut timbul dari sikap permusuhan orang-orang Yahudi dan Nasrani ketika itu kepada kaum Muslim. Bahkan dalam riwayat Bukhari dijelaskan tentang sahabat Nabi, Ibnu Umar, yang menyampaikan sabda Nabi saw bahwa orang Yahudi bila mengucapkan salam terhadap Muslim tidak berkata, “Assalamu’alaikum,” tetapi“Assamu’alaikum” yang berarti “Kematian atau kecelakaan untuk Anda.”
Mengucapkan “selamat Natal” masalahnya berbeda. Dalam masyarakat kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan dengan beberapa catatan khusus.
Sebenarnya, dalam Al-Quran ada ucapan selamat atas kelahiran ‘Isa: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidu kembali (QS. Maryam [19]: 33). Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi, persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.
Yang melarang ucapan “Selamat Natal”  mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus Kristus. Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan “Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan.
Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas. Itu semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan al-Quran tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak disalahpahami. Kata “Allah”, misalnya, tidak digunakan ketika pengertian semantiknya di kalangan masyarakat belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti kata Allah ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad). Demikian wahyu pertama hingga surah al-Ikhlas.
Nabi sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan beliau tidak sekali pun bertanya, “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi seperti itu, karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan di satu tempat—suatu hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata “ada” bagi Tuhan tetapi “wujud Tuhan”.
Ucapan selamat atas kelahiran Isa (Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam Al-Quran, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran Kristen yang keyakinannya terhadap Isa al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantarkan kita pada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan alasan ini, lahirlah larangan fatwa haram untuk mengucapkan “Selamat Natal”, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apapun yang berkaitan atau membantu terlaksanannya upacara Natal tidak dibenarkan.
Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”. Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Quran mengaitkannya dengan ucapan Isa,“Sesungguhnya aku ini, hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.” (QS. Maryam [19]: 30).
Nah, salahkan bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan itu? Bukankah al-Quran telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai hamba dan utusan Allah? Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk Isa as, sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul? Tidak bolehkan kita merayakan hari lahir (natal) Isa as? Bukankah Nabi saw juga merayakan hari keselamatan Musa dari gangguan Fir’aun dengan berpuasa Asyura, sambil bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya, “Saya lebih wajar menyangkut Musa (merayakan/mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-orang Yahudi),” maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud), melalui Ibnu Abbas—lihat Majma; al-Fawaid, hadits ke-2.981).
Itulah, antara lain, alasan membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual.
Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan tersebut lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika seseorang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” yang Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana ia diucapkan—sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim yang lain—maka agaknya tidak beralasanlah larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seseorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Qur’an?
Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, al-Quran dan hadits Nabi memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan persepsinya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya, karena si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan persepsinya pula. Di sini, kalaupun non-Muslim memahami ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya mengucapkan sesuai dengan penggarisan keyakinannya.
Tidak keliru, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan mengucapkan “Selamat Natal”, bila larangan itu ditujukan kepada yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Akan tetapi, tidak juga salah yang membolehkannya selama pengucapnya arif bijaksana dan tetap memelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.
Boleh jadi, pendapat ini dapat didukung dengan menganalogikannya dengan pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ulama yang menyatakan bahwa seorang Nasrani bila menyembelih binatang halal atas nama al-Masih, maka sembelihan tersebut boleh dimakan Muslim, baik penyebutan tersebut diartikan sebagai permohonan shalawat dan salam untuk beliau maupun dengan arti apa pun. Demikian dikutip al-Biqa’i dalam tafsirnya ketika menjelaska QS. Al-An’am [6]: 121, dari kitab ar-Raudhah.
Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.
KESIMPULANNYA :
a. Mengucapkan “selamat hari natal”  tidak diperbolehkan (haram)  dengan berbagai pertimbangan :
• Terdapat unsur memuliakan/ membenarkan / ridho terhadap keyakinan Non-Muslim
• Akan menimbulkan persepsi positif terhadap akidah mereka kepada khalayak umum, akan tetapi jika sikap ini justru akan menimbulkan penilaian negative terhadap Islam dan juga di perlukan( misal terhadap saudara/kerabat( maka di perbolehkan ( ada yang memakruhkan) mengucapkannya dengan syarat ucapan tersebut bukan dalam rangka memberikan penghormatan tetapi demi menampakkan keindahan dan cinta kasih dalam Islam
b. Toleransi yang hanya sebatas dhahir artinya tidak sampai menimbulkan ekses menyukai serta tidak menimbulkan persepsi salah atau menjadi dalil di bolehkan mengucapkan selamat hari natal kepada non muslim  di kalangan orang awam.
REFERENSI :
Prof. Dr. Kh. Qurays Syihab
Tafsir Al Biqa’i
Shahih Bukhari
Shahih Muslim,
Sunan Abu Dawud
Subul As-Salam Karya Muhammad Bin Ismail Al-Kahlani (Jil. Iv, Hlm. 155)
Majma; Al-Fawaid, Hadits Ke-2.981).
Kitab Ar-Raudhah.
Juga Keterangan Lain Dari  Ulama’ Salafus Sholih   Di Bawah Ini :
واعلم أن كون المؤمن موالياً للكافر يحتمل ثلاثة أوجه أحدها : أن يكون راضياً بكفره ويتولاه لأجله ، وهذا ممنوع منه لأن كل من فعل ذلك كان مصوباً له في ذلك الدين ، وتصويب الكفر كفر والرضا بالكفر كفر ، فيستحيل أن يبقى مؤمناً مع كونه بهذه الصفة.
فإن قيل : أليس أنه تعالى قال : {وَمَن يَفْعَلْ ذَالِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَىْءٍ} وهذا لا يوجب الكفر فلا يكون داخلاً تحت هذه الآية ، لأنه تعالى قال : {ذَالِكَ بِأَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا } فلا بد وأن يكون خطاباً في شيء يبقى المؤمن معه مؤمناً وثانيها : المعاشرة الجميلة في الدنيا بحسب الظاهر ، وذلك غير ممنوع منه.
والقسم الثالث : وهو كالمتوسط بين القسمين الأولين هو أن موالاة الكفار بمعنى الركون إليهم والمعونة ، والمظاهرة ، والنصرة إما بسبب القرابة ، أو بسبب المحبة مع اعتقاد أن دينه باطل فهذا لا يوجب الكفر إلا أنه منهي عنه ، لأن الموالاة بهذا المعنى قد تجره إلى استحسان طريقته والرضا بدينه ، وذلك يخرجه عن الإسلام فلا جرم هدد الله تعالى فيه فقال : {وَمَن يَفْعَلْ ذَالِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَىْءٍ} .
Tafsiir al-Fakhr ar-Raazi I/1124
********************
باب الردة
وسئل رحمه الله تعالى ورضي عنه هل يحل اللعب بالقسي الصغار التي لا تنفع ولا تقتل صيد إبل أعدت للعب الكفار وأكل الموز الكثير المطبوخ بالسكر وإلباس الصبيان الثياب الملونة بالصفرة تبعاً لاعتناء الكفرة بهذه في بعض أعيادهم وإعطاء الأثواب والمصروف لهم فيه إذا كان بينه وبينهم تعلق من كون أحدهما أجيراً للآخر من قبيل تعظيم النيروز ونحوه، فإن الكفرة صغيرهم وكبيرهم وضيعهم ورفيعهم حتى ملوكهم يعتنون بهذه القسي الصغار واللعب بها وبأكل الموز الكثير المطبوخ بالسكر اعتناء كثيراً وكذا بإلباس الصبيان الثياب المصفرة وإعطاء الأثواب والمصروف لمن يتعلق بهم وليس لهم في ذلك اليوم عبادة صنم ولا غيره وذلك إذا كان القمر في سعد الذابح في برج الأسد وجماعة من المسلمين إذا رأوا أفعالهم يفعلون مثلهم فهل يكفر أو يأثم المسلم إذا عمل مثل عملهم من غير اعتقاد تعظيم عيدهم ولا اقتداء بهم أو لا؟. فأجاب نفع الله تبارك وتعالى بعلومه المسلمين بقوله: لا كفر بفعل شيء من ذلك، فقد صرح أصحابنا بأنه لو شد الزنار على وسطه أو وضع على رأسه قلنسوة المجوس لم يكفر بمجرد ذلك اهـ، فعدم كفره بما في السؤال أولى وهو ظاهر بل فعل شيء مما ذكر فيه لا يحرم إذا قصد به التشبه بالكفار لا من حيث الكفر وإلا كان كفراً قطعاً، فالحاصل أنه إن فعل ذلك بقصد التشبه بهم في شعار الكفر كفر قطعاً أو في شعار العيد مع قطع النظر عن الكفر لم يكفر، ولكنه يأثم وإن لم يقصد التشبه بهم أصلاً ورأساً فلا شيء عليه، ثم رأيت بعض أئمتنا المتأخرين ذكر ما يوافق ما ذكرته فقال: ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون، وقد قال : «من تشبه بقوم فهو منهم» ، بل قال ابن الحاج : لا يحل لمسلم أن يبيع نصرانياً شيئاً من مصلحة عيده لا لحماً ولا أدماً ولا ثوباً ولا يعارون شيئاً ولو دابة إذ هو معاونة لهم على كفرهم وعلى ولاة الأمر منع المسلمين من ذلك. ومنها اهتمامهم في النيروز بأكل الهريسة واستعمال البخور في خميس العيدين سبع مرات زاعمين أنه يدفع الكسل والمرض وصبغ البيض أصفر وأحمر وبيعه والأدوية في السبت الذي يسمونه سبت النور وهو في الحقيقة سبت الظلام ويشترون فيه الشبث ويقولون أنه للبركة ويجمعون ورق الشجر ويلقونها ليلة السبت بماء يغتسلون به فيه لزوال السحر ويكتحلون فيه لزيادة نور أعينهم ويدهنون فيه بالكبريت والزيت ويجلسون عرايا في الشمس لدفع الجرب والحكة ويطبخون طعام اللبن ويأكلونه في الحمام إلى غير ذلك من البدع التي اخترعوها ويجب منعهم من التظاهر بأعيادهم اهـ.
فتاوى ابن حجر الهيثمي رقم الجزء: 4 رقم الصفحة: 238
******************************
وَعَنْ شَرْحِ الْكَرْمَانِيِّ عَنْ النَّوَوِيِّ أَنَّ هَذِهِ الْقِطْعَةَ مُشْتَمِلَةٌ عَلَى جُمَلٍ مِنْ الْقَوَاعِدِ مِنْهَا اسْتِحْبَابُ تَصْدِيرِ الْكُتُبِ بِالْبَسْمَلَةِ ، وَإِنْ كَانَ الْمَبْعُوثُ إلَيْهِ كَافِرًا وَمِنْهَا سُنِّيَّةُ الِابْتِدَاءِ فِي الْمَكْتُوبِ بِاسْمِ الْكَاتِبِ أَوَّلًا وَلِذَا كَانَ عَادَةُ الْأَصْحَابِ أَنْ يَبْدَءُوا بِأَسْمَائِهِمْ وَرَخَّصَ جَمَاعَةٌ الِابْتِدَاءَ بِالْمَكْتُوبِ إلَيْهِ كَمَا كَتَبَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ إلَى مُعَاوِيَةَ مُبْتَدِئًا بِاسْمِ مُعَاوِيَةَ وَأَنَا أَقُولُ فِيهِ أَيْضًا اسْتِحْبَابُ تَعْظِيمِ الْمُعَظَّمِ عِنْدَ النَّاسِ وَلَوْ كَافِرًا إنْ تَضَمَّنَ مَصْلَحَةً وَفِيهِ أَيْضًا إيمَاءٌ إلَى طَرِيقِ الرِّفْقِ وَالْمُدَارَاةِ لِأَجْلِ الْمَصْلَحَةِ وَفِيهِ أَيْضًا جَوَازُ السَّلَامِ عَلَى الْكَافِرِ عِنْدَ الِاحْتِيَاجِ كَمَا نُقِلَ عَنْ التَّجْنِيسِ مِنْ جَوَازِهِ حِينَئِذٍ ؛ لِأَنَّهُ إذًا لَيْسَ لِلتَّوْقِيرِ بَلْ لِلْمَصْلَحَةِ وَلِإِشْعَارِ مَحَاسِنِ الْإِسْلَامِ مِنْ التَّوَدُّدِ وَالِائْتِلَافِ وَفِيهِ أَيْضًا أَنَّهُ لَا يَخُصُّ بِالْخِطَابِ فِي السَّلَامِ عَلَى الْكَافِرِ وَلَوْ لِمَصْلَحَةٍ بَلْ يَذْكُرُ عَلَى وَجْهِ الْعُمُومِ وَفِيهِ أَيْضًا أَنَّهُ ، وَإِنْ رَأَى السَّلَامَ عَلَى الْكَافِرِ ، وَلَكِنْ لَمْ يَرِدْ ؛ لِأَنَّهُ فِي الْبَاطِنِ وَالْحَقِيقَةِ لَيْسَ لَهُ بَلْ لِمَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى وَظَاهِرٌ أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ تَبَعِيَّةُ هُدًى بَلْ فِيهِ إغْرَاءٌ عَلَى دَلِيلِ اسْتِحْقَاقِ الدُّعَاءِ بِالسَّلَامِ مِنْ تَبِيعَةِ الْهُدَى .
بريقة محمودية رقم الجزء: 2 رقم الصفحة: 354
******************************
قال الشيخ عميرة قال الروياني لا يجوز التأمين على دعاء الكافر لأنه غير مقبول أي لقوله تعالى وما دعاء الكافرين إلا في ضلال ا ه سم على المنهج ونوزع فيه بأنه قد يستجاب لهم استدراجا كما استجيب لإبليس فيؤمن على دعائه هذا ولو قيل وجه الحرمة أن في التأمين على دعائه تعظيما له وتقريرا للعامة بحسن طريقته لكان حسنا وفي حج ما نصه وبه أي بكونهم قد تعجل لهم الإجابة استدراجا يرد قول البحر يحرم التأمين على دعاء الكافر لأنه غير مقبول ا ه على أنه قد يختم له بالحسنى فلا علم بعدم قبوله إلا بعد تحقق موته على الكفر ثم رأيت الأذرعي قال إطلاقه بعيد والوجه جواز التأمين بل ندبه إذا دعا لنفسه بالهداية ولنا بالنصر مثلا ومنعه إذا جهل ما يدعو به لأنه قد يدعو بإثم أي بل هو الظاهر من حاله فرع في استحباب الدعاء للكافر خلاف ا ه
حاشية الجمل على المنهج لشيخ الإسلام زكريا الأنصاري رقم الجزء: 3 رقم الصفحة: 576
******************************
( تَنْبِيهٌ ) قَضِيَّةُ تَعْبِيرِهِمْ بِالْوُجُوبِ أَخْذًا مِنْ الْخَبَرِ أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى الْمُسْلِمِ عِنْدَ اجْتِمَاعِهِمَا فِي طَرِيقٍ أَنْ يُؤْثِرَهُ بِوَاسِعِهِ ، وَفِي عُمُومِهِ نَظَرٌ ، وَاَلَّذِي يَتَّجِهُ أَنَّ مَحَلَّهُ إنْ قَصَدَ بِذَلِكَ تَعْظِيمَهُ ، أَوْ عُدَّ تَعْظِيمًا لَهُ عُرْفًا ، وَإِلَّا فَلَا وَجْهَ لِلْحُرْمَةِ
Tuhfah al-Muhtaaj 40/259