F0001. BID'AH MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
MUQODIMAH
بسم
الله الرحمن الرحيم
الحمد
لله الذي وفق من شاء من عباده لأداء أفضل الطاعات، واكتساب أكمل السعادات، وأشهد
أن لا إله إلا الله المتصف بجميع الكمالات، وأشهد أن سيدنا محمداً عبده ورسوله
أفضل المخلوقات صلى الله عليه وسلّم، وعلى آله وأصحاب الأنجم النيرات، صلاة
وسلاماً دائمين ما دامت الأرض والسموات.
Amma ba’du Semoga Allah selalu menunjukkan kita ke
jalan lurus, dan meridhoi kita dalam setiap gerak langkah kita dalam mengarungi
hidup ini, dan semoga sholawat dan salam selalu tercurah kepada penuntun hidup kita
yaitu Rasul Muhammad Saw beserta keluarga dan para shahabat nya.saudara-saudaraku yang mulia....
|
|
Bid’ah adalah perkara teramat buruk dalam agama, yang Rasul telah mewanti-
wanti kita jangan sampai terjerumus ke dalamnya. Demikian pula para ulama’ al
waritsatul anbiya, sepanjang usia umat ini, terus mengingatkan dan membentengi
umat dari bid’ah yang amat tercela. Dan seharusnya masalah penting ini wajib
untuk selalu disampaikan dan diingatkan ketengah-tengah umat, mengingat
besarnya bahaya bid''ah dan kerusakan yang ditimbulkannya.
Namun masalahnya menjadi lain sekarang ini, ketika muncul segolongan kaum
muslimin – yang mereka terkadang baru belajar agama, - demikian ‘mudah
melayangkan bid’ah kepada saudaranya. Tak kepalang tanggung, tidak sedikit
ulama’ –ulama’ yang mereka hujat sebagai pelaku bid’ah bahkan dikatakan sebagai
pemancang bid’ah ditengah-tengah umat. Hal ini terkadang hanya karena perbedaan
amaliyah dan pendapat fiqiyah. Atau disebabkan cara pendefinisian yang berbeda
tentang apa itu bid’ah. Padahal, hampir tidak mungkin bagi kita untuk
menggeneralisir begitu saja semua masalah bid''ah menjadi satu versi saja.
Sebab yang namanya ulama itu bukan hanya ada satu saja di dunia ini. Sehingga
kehati-hatian, ketelitian serta kematangan pemahaman akan masalah bid''ah dan
pengertiannya ini menjadi krusial.
Lain halnya bila sebuah masalah sudah disepakati kebid'ahannya oleh semua
lapisan ulama baik salaf maupun khalaf, seperti shalat dwi bahasa ala Jusman
Roy, Aliran nyeleneh Ahmad Musadiq, acara melarung kerbau kelaut untuk buang
sial, atau ajaran Lia Aminuddin dan sebagainya, maka setiap kita harus lantang
dalam menyampaikan ini ke umat, agar mereka terbentengi dari bid’ah yang
merupakan perbuatan yang sangat tercela. Namun, jika suatu masalah dirumuskan
berbeda oleh para ulama’ yang satu berkata A sedangkan yang lain berkata B,
alangkah tidak bijaknya bila kita saling menuding dan saling lempar kata
bid’ah. Yang justru, bid’ah baru dan musibah yang lebih besar kita timbulkan
sebab pertikaian ini. Kita menjadi pencaci, pembenci dan pengumpat kepada
orang-orang yang justru Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk memuliakan
mereka. Kita demikian mudah menistakan segolongan kaum muslimin bahkan
ulama’-ulama’ hanya karena mereka berbeda definisi dalam masalah bid’ah.
Sehingga melalui tulisan ini, kami mencoba menerangkan kembali tentang
masalah penting ini, agar jangan mudah seseorang melontarkan kata bid’ah kepada
saudaranya. Sebenarnya, masalah ini telah diterangkan oleh ulama salaf dan
khalaf sepanjang perjalanan usia umat ini. Semoga Allah memudahkan kita
menerima kebenaran, ditumbuhkan rasa kasih sayang diantara kita, dan kita
semoga Allah mengumpulkan kita dengan Nabi SAW di syurga-Nya kelak. Amin.
PENGERTIAN BID’AH
Arti Bid’ah Menurut Bahasa (Etimologis)
Kata Bid’ah (Jama‘nya ; Bida’) secara bahasa berarti ‘sesuatu yang diadakan
tanpa ada contoh terlebih dahulu’ sedangkan pelakunya disebut “mubtadi’ “ atau
mubdi’“[1]
Dalam al-Qur’an, langit dan bumi dikatakan bid’ah, karena Allah SWT
menciptakannya tanpa ada contoh terlebih dahulu. Allah SAW berfirman:
بَدِيْعُ السَّموَاتِ
وَالأَرْضِ
“(Allah) Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh)..” (QS. Al-Baqarah
:117)
Arti Bid’ah Dalam Istilah Agama (Terminologis)
Adapun mengenai Bid’ah dalam istilah agama, para ulama telah menjelaskannya
setelah melalui proses penelitian terhadap konteks al-Qur’an dan Hadits.
Marilah kita simak pendapat-pendapat ulama berikut.
1.Ibnu Hajar
al-Asqalani ( pensyarah kitab shahih bukhori) Beliau berkata: "Yang
dimaksud sabda Nabi "Setiap bid'ah itu adalah sesat" adalah sesuatu
yang diada-adakan tanpa ada dalil syar'i, baik dalil khusus maupun
umum."[2]
2.Ibnu Taimiyyah.
Beliau berkata: Bid’ah adalah semua perkara agama yang tidak ada sandarannya
berupa dalil syar'i.[3]
3.Muhammad Rasyid
Ridha. Beliau berkata: Bid’ah adalah segala hal yang tidak ada dasarnya dari
ajaran Nabi SAW, yakni dalam hal aqidah, ibadah, halal dan haram.[4]
Penjelasan Definisi
Dari beberapa contoh definisi bid’ah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
yang dimaksud bid’ah secara istilah adalah suatu urusan agama yang tidak
memiliki landasan syar’i. Meskipun sebenarnya hampir mustahil untuk memisahkan
-dengan batasan yang jelas- antara perkara agama dan perkara dunia, namun,
untuk meringankan pembahasan, kita akan fokus dulu pada pembahasan mengenai
definisi diatas.
Jika dikatakan bahwa Bid’ah (perkara baru) adalah sesuatu yang tidak
berlandaskan syariat, maka akan timbul pertanyaan “adakah Bid’ah yang memiliki
landasan syar’iat sehingga ia tidak termasuk Bid’ah yang tercela ?
Jika kita menggunakan logika berfikir yang lurus, jawabannya tentu “ada”.
Coba kita perhatikan baik-baik, jika kita mengakui adanya bid’ah
yang tidak sesuai dengan syariat, maka secara logika berfikir kita harus
mengakui pula adanya Bid’ah yang sesuai syariat. Dari sini kita
ketahui, bahwa definisi diatas masih belum jelas sehingga membutuhkan
penjelasan lebih lanjut, karena definisi diatas tetap akan menimbulkan dua
pertanyaan berikut.
- Dinamakan apa Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
- Jika Bid’ah yang tidak sesuai syariat jelas statusnya. Lantas bagaimana
status Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
Untuk menjawabnya, kita lanjutkan dengan pembahasan di bab berikutnya.
MACAM-MACAM BID’AH
Setelah nyata bagi kita, bahwa isyarat agama dan realitas mengharuskan kita
memilah-milah bid’ah, maka sekarang kita simak perkataan Salafus-halih yang
memberikan keterangan tentang hal tersebut.
Imam Syafi’i RA berkata :
اَلبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ,
بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ
مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
“Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang
sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang terpuji, sedangkan yang
menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.”[5]
Atau penjelasan beliau dalam riwayat yang lain, Yaitu yang diriwayatkan
oleh Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
اَلمُحْدَثَاتُ
ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا
فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ
شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَة
‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang
bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah Bid’ah Dhalalah
(sesat). Kedua, perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak
bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang
seperti ini tidaklah tercela’.
Dari penjelasan Imam Syafi’i tersebut, kita bisa simpulkan bahwa Bid’ah
yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah sesat, sedangkan Bid’ah yang
sesuai syariat disebut Bid’ah tidak sesat. Atau, jika Bid’ah yang tidak sesuai
dengan syariat disebut Bid’ah tercela, maka Bid’ah yang sesuai dengan syariat
disebut Bid’ah terpuji. Atau, jika bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat
disebut Bid’ah yang buruk (sayyiah), maka bid’ah yang sesuai dengan syariat
disebut Bid’ah yang baik (Hasanah). Begitu seterusnya
Demikian juga, sebagaimana Bid’ah yang pertama (yang tidak sesuai dengan
syariat) jelas statusnya, yaitu sesat dan haram, maka dengan analogi berfikir
yang sama, Bid’ah yang kedua (yang sesuai dengan syariat) adalah halal bahkan
wajib hukumnya. Jika bid’ah yang pertama tidak boleh kita kerjakan maka Bid’ah
yang kedua boleh kita kerjakan. Begitu seterusnya.
Jika kita masih mau meluaskan pembahasan, mari kita simak penjelasan
Al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Imam an-Nawawi sebagai berikut : “Pada dasarnya,
bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang
mendahului. Dalam istilah syari’at, Bid’ah itu dipergunakan untuk perkara yang
bertentangan dengan Sunnah, maka jadilah ia tercela. Namun lebih tepatnya,
apabila perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap baik menurut syari’at maka
iapun menjadi baik. Sebaliknya, jika perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap
buruk oleh syari’at maka iapun menjadi buruk. Jika tidak demikian maka ia
termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi berdasarkan
hukum-hukum Islam yang lima”.[6]
Al-Imam an-Nawawi (Pensyarah kitab shahih muslim ) juga membagi bid’ah
menjadi lima macam :
1.Wajib.
Contohnya, antara lain, mencantumkan dalil-dalil pada
ucapan-ucapan yang menentang kemunkaran, penyusunan al-Qur’an dalam bentuk
mush-haf demi menjaga kemurniannya, menulis ayat Al-Quran dengan khat baru yang
menggunakan titik dan baris agar tidak salah mengartikan Al-Quran, membukukan
kitab Hadits, khutbah dengan bahasa sistematis agar dimengerti maknanya dan
lain-lain.
2.Mandub
(disukai).
Contohnya, khutbah jumat (selain rukunnya) memakai bhs
indonesia, inggris, china dll, Shalat Tarawih sebulan penuh, pengajian rutin,
membuat Al-Qur’an dalam program CD dan lain-lain.
3.Haram (sesat).
Contoh, Naik haji selain ke Makkah, melakukan ritual
dengan melarung sesaji di pantai selatan, turut merayakan dan memperingati
Natal (untuk merayakan hari kelahiran Nabi Isa), menthalaq isteri sewaktu haid,
dan lain-lain.
4.Makruh. Contoh, menghias masjid dengan kaligrafi, berwudhu’ dengan membiasakan
lebih dari tiga kali basuhan.
5.Mubah. Contohnya sangat banyak, mempercantik rumah dengan hiasan atau kasesoris,
mewah dalam pakaian/makanan dan semua yang meliputi segala sesuatu yang tidak
bertentangan dengan hukum agama.
Demikianlah arti pengecualian dan kekhususan dari arti yang umum,
sebagaimana kata Sahabat Umar bin al-Khatthab RA mengenai jamaah tarawih (yang
menjadi satu jamaah dan satu imam), “inilah sebaik-baik bid’ah”.[7]
Coba perhatikan, kedua ulama’ besar tersebut bahkan membagi bid’ah menjadi
beberapa klarifikasi. Jika kita perhatikan, dalam hukum agama kita memang hanya
menemukan dua hal; perintah dan larangan. Akan tetapi sebuah perintah bisa
berstatus wajib atau mungkin sekedar anjuran. Demikian juga dengan larangan,
bisa berupa haram atau sekedar makruh. Maka perkara yang dianggap bid’ah akan
lebih bijaksana apabila dipandang dengan cara seperti ini. Semoga Allah
merahmati Ibnu Hajar dan an-Nawawi.
Dengan demikian, kami rasa tidaklah berlebihan bila ada yang mengatakan
bahwa orang yang menolak Bid’ah Hasanah adalah termasuk golongan ahli Bid’ah
Dhalalah.
Bid’ah Dhalalah bermacam-macam, diantaranya adalah menafikan Sunnah,
menolak ucapan Sahabat Nabi dan menolak pendapat Khulafa’ur-rasyidin.
Rasulullah SAW telah memberitahukan bahwa akan muncul banyak perbedaan, beliaupun
menyuruh kita untuk berpegangan pada Sunnah beliau dan Sunnah
Khulafa’ur-rasyidin. Sunnah Rasul adalah membolehkan Bid’ah Hasanah, sedangkan
Sunnah Khulafa’urrasyidin adalah melakukan Bid’ah Hasanah.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah Hasanah, maka kita telah
menafikan dan membid’ahkan mush-haf Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi
panduan ajaran pokok Agama Islam, karena tidak ada perintah Rasulullah SAW
untuk membukukan keduanya. Pembukuan itu hanyalah merupakan ijma’ (kesepakatan
pendapat) para Sahabat Nabi dan dilakukan setelah Rasulullah SAW wafat. Bahkan
Rasulullah SAW justru pernah melarang menulis Hadits karena khawatir dikira
al-Qur’an.
Kitab Hadits, seperti Shahih al-Bukhari, shahih Muslim dan sebagainya
muncul pada zaman Tabi’in. Walaupun Nabi pernah melarang penulisan Hadits,
namun mereka tetap membukukannya, karena kehawatiran Nabi akan bercampurnya
ayat al-Qur’an dan Hadits pada akhirnya mudah dihindari dengan hadirnya
peralatan tulis yang semakin canggih. Sedangkan pembukuan itu dianggap penting
untuk menjaga rawiyat Hadits Nabi.
Demikian pula Ilmu Musthalahul-hadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain. Semua
iai adalah Bid’ah yang tidak diperintahkan atau dicontohkan oleh Nabi. Namun
ini termasuk Bid’ah Hasanah, karena ilmu-ilmu itu disusun untuk kepentingan
menjaga dan memahami al-Qur’an dan Hadits.
Demikian pula Taraddhi (ucapan Radhiyallahu’anhu yang artinya ‘semoga Allah
meridhainya’) untuk sahabat Nabi, hal itu tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah SAW, tidak pula oleh Sahabat. Walaupun Al-Quran menyebutkan bahwa
para sahabat Nabi diridhai oleh Allah, namun al-Qur’an dan Hadits tidak
memerintahkan Taraddhi untuk sahabat Nabi. Taraddhi adalah Bid’ah Hasanah yang
dibuat oleh Tabi’in karena kecintaan mereka pada para Sahabat Nabi.
Demikian pula dengan Al-Quran yang kini telah dikasetkan, di CD-kan dan
diprogram pada hand phone. Al-Quran juga diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ini
semua adalah Bid’ah, namun Bid’ah yang Hasanah, Bid’ah yang baik dan bermanfaat
untuk kaum muslimin. Tidak seorangpun memungkiri hal itu.
Coba kita tarik mundur kebelakang tentang sejarah Islam, seandainya
al-Quran tidak dibukukan, apa kiranya yang terjadi pada perkembangan Islam?
Jika al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para
Sahabat RA yang hanya sebagian dituliskan, tentu akan muncul beribu-ribu versi
al-Quran, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya berdasarkan
riwayatnya sendiri.
Demikian pula dengan Hadits-hadits Rasulullah SAW, seandainya ulama tidak
menulis dan membukukannya karena Nabi pernah melarang, seandainya tidak disusun
pula ilmu Mushthalah Hadits, niscaya kita akan sulit untuk mempercayai
keshahihan sebuah Hadits, karena semua orang bisa mengaku punya riwayat Hadits
Shahih.
Rasulullah SAW tahu bahwa dalam kondisi tertentu harus ada pembaharuan,
makanya beliau menganjurkan Sunnah Hasanah (inisiatif baik). Beliau juga tahu
bahwa hal baru terkadang juga menimbulkan fitnah agama, makanya beliau melarang
Sunnah Sayyi’ah atau Bid’ah Dhalalah. Inilah hubungan antara perintah
berijtihad dalam urusan agama dan masalah bid’ah.
PENJELASAN HADITS-HADITS TENTANG BID’AH
Ketika sebagian orang menolak pembagian Bid’ah pada Bid’ah Hasanah dan
Bid’ah Sayyi’ah, maka itu berarti mereka menolak dan menyalahkan ulama’besar
seperti al-Imam asy-Syafi’i, Al Hafid Ibnu Hajar, al-Imam a-Nawawi dan
Salafus-shalih lainnya, seolah-olah Ulama besar itu hanya berpendapat
berdasarkan hawa nafsu dan mengesampingkan al-Qur’an dan Hadits.
Penah terjadi dialog menarik. Berikut kami kutip dengan tanda “A” untuk
wakil mereka dan “B” untuk wakil kami.
A : Kami tidak menjelaskan pendapat kami berdasarkan pikiran kami, tetapi
berdasarkan ulama’ salaf juga.
B : Ulama’ salaf yang mana yang Anda maksudkan ?
A : Ulama’ semisal Ibnu Taimiyah.
B : Bukankah telah jelas dalam pembahasan yang lalu, bahwa definisi Bid’ah
semisal Ibnu Taimiyah masih perlu penjelasan lebih lanjut? Dan kemudian
diperjelas oleh definisi yang dikemukakan oleh As-Syafi’i.
A : Saya rasa definisi dari Ibnu Taimiyah sudah jelas, tidak perlu
penjelasan tambahan.
B : Berarti Anda menafikan adanya bid’ah yang baik. Kalau demikian, apa
pendapat Anda tentang hal-hal baru seperti mush-haf al-Qur’an, pembukuan
Hadits, fasilitas Haji, Sekolah dan Universitas Islam, Murattal dalam kaset dan
sebagainya yang tidak ada di zaman Nabi?
A : Itu bukan bid’ah
B : Lantas di sebut apa? Apakah hanya akan didiamkan setiap hal-hal baru
tanpa ada status hukum dari agama (boleh tidaknya). Ini berarti Anda menganggap
Islam itu jumud dan ketinggalan zaman.
A : (Diam).. Baiklah, tetapi kami memiliki ulama’ yang memiliki penjelasan
tidak seperti apa yang Anda jelaskan, ulama’ kami membagi Bid’ah menjadi dua ;
Bid’ah agama dan Bid’ah Dunia.
B : Nah, memang seharusnya demikian. Lantas, siapa yang membagi bid’ah
menjadi demikian?
A : Ulama’ semisal Albani dan Bin Baz. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW,
“Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.”
B : Hadits tersebut bukan hanya ulama Anda yang mengetahui. Ulama’ salaf telah
mengetahui Hadits tersebut, namun mereka tidak menyimpulkan demikian, karena
itu berarti seakan-akan Nabi ‘mempersilahkan’ manusia untuk berkreasi dalam
urusan dunia sesuka hati, dan Nabi ‘mengaku’ tidak banyak tahu urusan dunia.
Baiklah, tidak usah kita berbicara terlalu jauh. Ketika ternyata Anda juga
berdalih dengan pendapat ulama Anda, berarti kita sama-sama bersandar pada
ulama. Sebuah pertanyaan buat Anda: Apakah Anda lebih percaya pada ulama Anda
daripada ulama salaf yang hidup di zaman yang lebih dekat kepada zaman Nabi
SAW? Apakah Anda mengira bahwa As-Syafi’i salah mendefinisikan Bid’ah -yang
merupakan pokok agama maha penting- kemudian didiamkan saja oleh ulama salaf
lainnya tanpa bantahan? Apakah Anda mengira Albani lebih banyak memahami Hadits
darial hafizh Ibnu Hajar dan al imam
an-Nawawi?
A : Terdiam tidak menjawab.
B : Kami rasa tidak mungkin ulama Anda, seperti Ibnu Taimiyah, Albani dan
Bin Baz sampai merasa lebih benar dari asy-Syafi’i, an-Nawawi, Ibnu Hajar,
Al-Baihaqi dan ulama salaf lainnya. Mungkin ulama Anda hanya sekedar memiliki
pemikiran berbeda, sebagaimana lazimnya ulama berbeda pendapat tanpa
menyalahkan pendapat lain. Kami rasa Anda saja yang berlebihan dan kemudian
menyalahkan ulama salaf demi membela pendapat ulama Anda. Kalau benar demikian,
maka berarti Anda justru telah menistakan ulama Anda sendiri.
Orang yang gemar melontarkan kata bid’ah biasanya akan berkata: “Rasulullah
SAW tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para
sahabatnya, tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian
pula para tabi’in dan tabi’it-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik,
tentu mereka akan mendahului kita.”
Mereka juga berkata: “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti
Nabi, yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau
lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya? Bukankah kita harus menjauhkan
diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW, para sahabat dan
ulama-ulama salaf? Melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi
adalah Bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering mereka jadikan pegangan dan mereka
pakai sebagai perlindungan, juga sering mereka jadikan sebagai dalil dan hujjah
untuk melegitimasi tuduhan Bid’ah terhadap semua amalan baru. Mereka menganggap
setiap hal baru -meskipun ada maslahatnya dalam agama- sebagai Sesat, haram,
munkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah
atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok (dasar) agama.
Ucapan seperti diatas adalah ucapan yang awalnya haq namun akhirnya batil,
atau awalnya shahih namun akhirnya fasid (rusak). Pernyataan bahwa Nabi SAW
atau para sahabat tidak melakukan si anu adalah benar. Akan tetapi pernyataan
bahwa semua yang tidak dilakukan oleh Nabi dan sahabat itu sesat adalah sebuah
Istimbath (penyimpulan hukum) yang keliru.
Karena tidak-melakukan-nya Nabi SAW atau salafus shalih bukanlah dalil
keharaman amalan tersebut. Untuk ‘mengecap’ sebuah amalan boleh atau tidak itu
membutuhkan perangkat dalil dan sejumlah kaidah yang tidak sedikit.
Kaidah mereka yang menyatakan bahwa setiap amalan yang tidak dikerjakan
Nabi dan sahabat adalah Bid’ah hanya berdalih dengan Hadits-hadits bid’ah dalam
pengertian zhahir, tanpa merujuk pada penjelasan yang mendalam dari ulama salaf.
Al-Imam Ibnu Hajar berkata: “Hadits-hadits shahih mengenai suatu persoalan
harus dihubungkan antara satu dengan yang lain, untuk dapat diketahui dengan
jelas tentang pengertiannya yang mutlak (lepas) dan yang muqayyad (terikat).
Dengan demikian maka semua yang diisyaratkan oleh Hadits-hadits itu dapat
dilaksanakan (dengan benar).”
Ketika kita mengemukakan pendapat ulama, sebagian orang membantah dengan
penyataan bahwa Hadits lebih utama untuk diikuti dari pendapat siapapun. Itu
berarti ia mengira bahwa pendapat ulama itu tidak berdasarkan al-Qur’an atau
Hadits, melainkan berdasarkan akal atau hawa nafsu. Maka takutlah kepada Allah
dan janganlah bersu’uzhon pada ulama shaleh.
Baiklah, mari kita telaah Hadits-hadits terkait dengan pembahasan ini, kita
lihat saja apakah mereka berpendapat berdasarkan Hadits sedangkan ulama shaleh
itu hanya berpendapat dengan akal atau hawa nafsu.
HADITS PERTAMA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah
adalah sesat’. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Al-Imam An-Nawawi, didalam Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini dan
berkata: “Ini adalah sebuah kaidah umum yang membawa maksud khusus (‘Ammun
makhsus). Apa yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang
bertentangan dengan Syari‘at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan dengan
Bid‘ah”.[8]
Demikian juga ayat Allah juga menjelaskan, ada bid’ah yang terpuji,
sebagaimana firman-Nya :
وَجَعَلْنَا فِي
قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا
مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاء رِضْوَانِ اللهِ
“Dan kami jadikan di hati mereka (Hawariyyun pengikut Isa) rasa kasih dan
sayang serta Rahbaniyah yang mereka buat, Kami tidak mewajibkan rahbaniyah itu,
(mereka tidak melakukan itu) kecuali untuk mencari keridhaan Allah”. (QS.
Al-Hadid : 27)
Berkatalah KH. Ali Badri Azmatkhan : Dalam ayat itu Allah menjelaskan bahwa
Ia telah mengkaruniai Hawariyyun dengan tiga perkata. Pertama, rasa kasih,
yakni berhati lembut sehingga tidak mudah emosi. Kedua, rasa sayang, yakni
mudah tergerak untuk membantu orang lain. Ketiga, Rahbaniyah, yakni
bersungguh-sungguh didalam mengharap ridha Allah, mereka berupaya dengan banyak
cara untuk menyenangkan Allah, walaupun cara itu tidak diwajibkan oleh Allah.
Allah SWT memang menyebut Rahbaniyah itu sebagai Bid’ah yang dibuat oleh
Hawariyun, itu bisa dipahami dari kalimat ibtada’uuhaa (mereka
mengada-adakannya). Namun Bid’ah yang dimaksud adalah Bid’ah Hasanah. Hal ini
ditunjang dengan dua alasan:
1.Pertama,
Rahbaniyah disebut dalam rentetan amal baik menyusul dua amal baik sebelumnya,
yaitu ra’fatan (rasa kasih) dan rahmatan (rasa sayang). Kalau memang Allah mau
bercerita tentang keburukan mereka akibat membuat Rahbaniyah, tentu susunan
kalimatnya akan memisahkan antara kasih sayang dan Rahbaniyah. Sedangkan
kalimat dalam ayat itu justru menggabungkan Rahbaniyah dengan kasih sayang
sebagai karunia yang Allah berikan pada Hawariyun.
2.Kedua, Allah
SWT berkata “Rahbaniyah itu tidak Kami wajibkan”. Tidak diwajibkan bukan
berarti dilarang, melainkan bisa jadi hanya dianjurkan atau dinilai baik. Ini
mengisyaratkan bahwa Rahbaniyah itu adalah cara atau bentuk amalan yang tidak
diperintah atau dicontohkan oleh Nabi Isa, akan tetapi memiliki nilai baik dan
tidak bertentangan dengan ajaran Isa. Bukti bahwa Allah SWT membenarkan Bid’ah
mereka berupa Rahbaniyah adalah Allah SWT mencela mereka karena mereka kemudian
meninggalkan Rahbaniyah itu. Ketika membuat Rahbaniyah menunjukkan upaya mereka
untuk mendapat ridha Allah, maka meninggalkan Rahbaniyah menunjukkan
kemerosotan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah.[9]
Sebagian orang berkata: Ketika Nabi SAW berkata ‘semua bid’ah adalah
sesat’, bagaimana mungkin ada orang yang berkata ‘tidak, tidak semua bid’ah
sesat, tetapi ada yang baik’. Apakah ia merasa lebih tahu dari Rasulullah?
Apakah ia tidak membaca ayat:
يَا أَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu
melebihi suara Nabi..” (Al-Hujarat : 2)
Mereka menyalahkan orang yang bersandar pada pendapat ulama salaf dan menganggap
orang itu lebih mengutamakan ulama daripada Nabi. Hal ini merupakan pemikiran
yang sempit dan termasuk penistaan terhadap kaum muslimin. Ada berapa juta
muslimin shaleh yang meyakini keilmuan dan ketaqwaan al-Imam asy-Syafi’i sang
penolong Sunnah (Nashirus-sunnah), Ibnu Hajar sang pakar yang hafal puluhan
ribu Hadits beserta sanadnya, an-Nawawi sang penghasil puluhan ribu lembar
tulisan ilmiah dan sebagainya? Sejarah bahkan mencatat bahwa islamisasi di
belahan dunia dilakukan oleh ulama yang sependapat dengan mereka, termasuk
Walisongo yang menyebarkan Islam di Nusantara. Tiba-tiba mereka dihujat oleh
orang yang belajar dan pengabdiannya bahkan tidak melebihi seperempat yang
dimiliki ulama salaf itu. Sungguh mereka tidak memiliki rasa hormat pada para
pejuang Islam. Seandainya mereka tahu seberapa besar peranan para pejuang itu
dalam perkembangan dunia Islam, jangankan para pejuang itu hanya berbeda
pendapat, seandainya jelas salah pun mereka tidak pantas dihujat, karena kita
yakin mereka tidak sengaja bersalah. Apalagi pendapat mereka bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kalimat “Kullu” Tidak Berarti Semua Tanpa Kecuali
Dalam bahasa Arab, Kulluh berarti semua. Namun dalam penggunaan, tidak
semua kullu berarti semua tanpa kecuali. Ada banyak ayat al-Qur’an yang
menggunakan kalimat “kullu” akan tetapi tidak bermaksud semua tanpa kecuali. Di
antaranya:
1. Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا نَسُوْا
مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا
فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada
mereka, Kamipun membukakan pintu-pintu dari segala sesuatu untuk mereka,
sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada
mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka
terdiam berputus asa.” (QS. al-An’am : 44)
Meskipun Allah SWT menyatakan abwaba kulli syai’ (pintu-pintu segala
sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu pintu rahmat, hidayah
dan ketenangan jiwa yang tidak pernah dibukakan untuk orang-orang kafir itu.
Kalimat “kulli syai” (segala sesuatu) adalah umum, tetapi kalimat itu bermakna
khusus.
2. Allah SWT berfirman:
أَمَّا السَّفِيْنَةُ
لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ
وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُدُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْباً
“Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut,
aku bermaksud merusak perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang Raja
yang mengambil semua perahu dengan paksa.” (QS. al-Kahfi : 79)
Meskipun Allah SWT mengunakan kalimat kulla ssafinatin (semua perahu), akan
tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu perahu yang bocor, karena Raja yang
diceritakan dalam ayat itu tidak merampas kapal yang bocor, bahkan Nabi Khidhir
sengaja membocorkan perahu itu agar tidak dirampas oleh Raja.
3. Allah berfirman :
تُدَمِّرُ كُلَّ
شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ كَذلِكَ
نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ
“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah
mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal
mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.” (ََQS. Al-Ahqaf : 25)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulla syai’ (segala sesuatu), akan tetapi
tetap ada pengecualiannya, yaitu gunung-gunung, langit dan bumi yang tidak ikut
hancur. Allah berfirman :
إِنِّيْ وَجَدْتُ
امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia
dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (QS.
An-Naml:23).
Meskipun Allah SWT menyatakan kulli syai’ (segala sesuatu), akan tetapi
tetap ada pengecualiannya, karena Ratu Balqis tidak diberi segala sesuatu tak
terkecuali, sebanyak apapun kekayaan Balqis tetap saja terbatas.
Ayat-ayat diatas membuktikan bahwa, dalam konteks al-Qur’an, kalimat
“kullu” juga bisa berarti “semua dengan pengecualian”, sebagaimana lazimnya
dalam penggunaan bahasa Arab dan bahasa lainnya. Masihkah Ada yang menyalahkan
ulama salaf semisal asy-Syafi’i karena menafsirkan kalimat “kullu” dalam Hadits
“Kullu bid’atin” dengan metode berfikir yang jernih dan ditunjang dengan
perangkat pendukung dan dalil-dalil yang jelas.
Selain itu, banyak pula ungkapan dalam al-Qur’an atau Hadits yang sepintas
nampak bermakna umum namun sebenarnya bermakna khusus. Perlu dipahami bahwa hal
ini adalah bisa dalam penggunaan bahasa pada umumnya, sehingga kita tidak boleh
kaku karena terpaku dengan sebuah kalimat tanpa memperhatikan istilah dan
susunan bahasa. Bahkan kita harus memperhatikan ayat dan Hadits lain barang
kali ada maksud tkhshish (membatasi) dalam kalimat umum atau sebaliknya.
Mari kita simak contoh-contoh berikut ini.
1. Allah berfirman:
مَنْ كَانَ
يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلّهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعاً
“Barang siapa yang menginginkan kekuatan maka hanya milik Allah-lah
kekuatan itu semuanya.” (QS. Fathir: 10)
Dari pernyataan ayat diatas, sepintas kita memahami bahwa kita tidak boleh
mengatakan bahwa kekuatan itu milik Allah dan Rasul-Nya, karena dalam ayat itu
disebutkan bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah, semuanya dan berarti tidak
ada sedikitpun kekuatan yang boleh dikatakan milik selain Allah. Namun coba
perhatikan ayat berikut ini:
وَللهِ الْعِزَّةُ
وَلِرَسُوْلِهِ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ
“.. padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi
orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS.
al-Munafiqun : 8).
Ternyata ayat ini menyatakan bahwa kekuatan adalah milik Allah dan Rasulnya
serta orang-orang mukmin. Memang, izzah (kekuatan) Allah dan izzah Rasul adalah
dua hal berbeda. Namun yang kita maksud di sini adalah penggunaan kalimat izzah
untuk disebut milik Allah dan selain Allah. Kalau membaca ayat yang pertama,
nampaknya kita tidak boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul”, akan
tetapi kalau membaca ayat yang kedua maka kita bahkan boleh mengatakan “izzah
milik Allah dan Rasul serta orang-orang mukmin”, karena Allah sendiri yang
mengatakan demikian.
2. Allah SWT berfirman:
إِنَّكُمْ وَمَا
تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُوْن
“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan
(bahan bakar) neraka jahannam, kalian pasti masuk kedalamnya.” (QS. al-Anbiya :
98)
Ayat ini menyatakan bahwa orang yang menyembah selain Allah akan masuk
neraka bersama sesembahannya. Kalau ayat itu dipahami begitu saja tanpa
mempertimbangkan ayat yang lain, maka akan dipahami bahwa Nabi Isa dan bundanya
juga akan masuk neraka, karena mereka disembah dan dipertuhankan oleh orang
Nasrani. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum sebagian musyrikin disembah
dan dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
3. Rasulullah SAW. bersabda:
“Orang yang menunaikan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari
terbenam tidak akan masuk neraka”. (HR. Muslim)
Hadits ini menyatakan bahwa orang yang shalat shubur dan ashar akan selamat
dari neraka. Kalau Hadits ini dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat
dan Hadits yang lain, maka akan dipahami bahwa kita akan selamat dari neraka
walaupun tidak shalat zhuhur, maghrib dan isya’ asalkan shalat shubuh dan
ashar.
4. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya biji hitam ini (habbatus-sauda') adalah obat bagi semua
penyakit, kecuali mati”[10].
Para mufassirin telah menegaskan bahawa kalimat ‘umum’ yang digunakan dalam
Hadits ini merujuk kepada sesuatu yang ‘khusus’. Maksud Hadits ini sebenarnya
ialah “banyak penyakit” (bukan semua penyakit) bisa disembuhkan dengan
habbatus-sauda’, walaupun kalimat yang dipakai adalah kaliamat ‘umum’ (kullu
yang berarti semua).
HADITS KEDUA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ أحْدَثَ
فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini,
yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Mari kita telaah makna Hadits diatas, benarkah Hadits diatas bisa menjadi
justifikasi membid’ahkan setiap amalan baru dalam agama?
Coba anda perhatikan pada kalimat “yang tidak bersumber darinya” pada
Hadits tersebut, kira-kira apa makna dari kalimat tersebut. Agar menjadi jelas,
bandingkan dua kalimat berikut ini:
1. “Barang
siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak
bersumber darinya, maka ia tertolak.”
2. “Barang
siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, maka ia
tertolak.”
KH. Ali Badri Azmatkhan berkata : “Apabila kalimat ‘yang tidak bersumber
darinya’ dibuang, maka sepintas akan dipahami bahwa hal baru apapun akan
disebut Bid’ah, walaupun hal baru itu masih berisikan nilai syari’at. Dan
kalaupun misalnya kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ itu benar-benar tidak
disebutkan dalam Hadits ini, tentu kita juga tidak bisa memfonis semuanya
Bid’ah berdasarkan Hadits ini, karena, untuk memahami sebuah Hadits, kita juga
harus mempertimbangkan Hadits lain, baik Hadits Qauli (perkataan Nabi) maupun
Hadits Iqrari (pembenaran Nabi terhadap tindakan Sahabat).
Kemudian, ketika Nabi katakan ‘yang tidak bersumber darinya’, itu berarti
ada hal baru yang bersumber dari syari’at dan ada hal baru yang tidak bersumber
dari syari’at. Kalau yang dilarang adalah hal baru yang tidak bersumber dari
syari’at, maka hal baru yang bersumber dari syari’at tidak dilarang.
Lantas apa yang dimaksud dengan hal baru yang bersumber dari syari’at?
Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu dicontohkan dengan shalat
malam, maka semua orang tahu bahwa shalat malam itu bukan hal baru. Kalau hal
baru yang bersumber dari syari’at itu diartikan ihya’ussunnah (menghidupkan
Sunnah yang sudah lama ditinggalkan orang), maka secara bahasa itu juga tidak
benar, karena memulai kebiasaan lama itu bukan termasuk hal baru.
Maka tidak ada lain hal baru yang dimaksud kecuali cara baru yang tidak
dicontohkan Nabi, namun tidak bertentangan dengan syari’at dan bahkan memiliki
nilai syari’at. Hal ini diperkuat dengan banyaknya hal baru yang dilakukan para
shabat Nabi, misalnya menyusun atau menambah doa selain susunan doa yang
dicontohkan Nabi, Ta’rif (memperingati hari Arafah) yang dilakukan oleh
Abdullah bin Abbas dengan menggelar kemah dan dzikir bersama pada tanggal 9
Dzulhijjah (ketika tidak sedang berhaji), shalat tarawih dengan satu imam di
Masjidil-haram oleh para sahabat di zaman Umar bin al-Khatthab (sedangkan pada
zaman Nabi tarawihnya berkelompok-kelompok di sudut-sudut Masjidil-haram), dan
banyak lagi misal yang bisa kita temui dalam kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits
dan Syuruh (kitab syarah/tafsir Hadits).
Kepada siapapun yang belum pernah membaca tuntas kitab-kitab Tafsir, kitab
Hadits dan Syuruh, bila ia mau mentahqiq sebuah permasalahan, saya sarankan
untuk membaca semuanya dengan tuntas, agar terbuka baginya cakrawala berfikir
sebagaimana ulama salaf. Logikanya, bagaimana mungkin pemikiran seorang sarjana
atau doktor yang hanya pernah membaca tuntas beberapa judul buku bisa lebih
tajam dari pemikiran asy-Syafi’i, an-Nawawi, al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Asqalani
dan sebagainya. Mereka adalah ulama besar yang berhasil mengisi khazanah
keilmuan Islam dengan karya-karya besar yang bukan hanya dikagumi umat Islam
saja. Dan satu hal yang harus kita sadari, yaitu bahwa karya-karya itu tidak
lahir dari upaya yang ringan, mereka tidak belajar hanya sepuluh tahun, mereka
tidak meneliti hanya sepuluh tahun, mereka tidak hanya membaca seribu Hadits,
tapi meneliti puluhan tahun dan puluhan ribu Hadits. Tidak mudah bagi mereka
untuk memutuskan sebuah kesimpulan, tapi sebagian akademisi zaman sekarang
begitu mudahnya menyalahkan ulama salaf, padahal target belajarnya tidak
seserius ulama salaf, targetnya hanya gelar ‘Lc’, ‘MA’, ‘Doktor’ dan
sebagainya”.[11]
Agar lebih jelas lagi, mari kita lihat contoh amalan yang memiliki sumber
agama atau dalil baik umum maupun khusus dan amalan yang tidak memiliki sumber
bahkan bertentangan dengan agama berikut ini.
Amalan Baru Yang Memiliki Sumber/dalil
AMALAN BARU (Tidak Ada Di Zaman Nabi ) DAN SUMBERNYA *
1.Mengumpulkan
Al-Qur’an dalam satu mushaf Hadits, “Barangsiapa memudahkan urusan kaum
muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
2.Memberi titik
dan harakat pada mush-haf Al-Qur’an
3.Membaca doa-doa
bervariasi dalam sujud dan Qunut (misalnya berdoa untuk mujahidin Palestina)
Hadits “Sedekat-dekatnya makhluk dengan Tuhannya adalah ketika dia sujud, maka
perbanyaklah doa.”
4.Menyusun Ilmu
fiqih dalam sistem madzhab atau per bab agar mudah dipelajari dan khutbah dalam
bahasa setempat
5.Hadits,
“berkatalah kepada seseorang berdasarkan kemampuan akalnya.”
6.Mengumpulkan
muslimin pada suatu momen dengan diisi tilawah Qur’an atau shalawat Nabi dsb.
Jelas banyak dalilnya.
7.Membuat
Al-Qur’an dalam bentuk VCD Hadits, “Barang siapa yang memudahkan urusan kaum
muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
8.Memberi gelar
pada tokoh agama dengan sebutan Syaikh, Ustadz, Kiai, Ajengan dsb. Perintah
agama untuk memanggil orang dengan penghormatan dan panggilan yang disukai
*Diantaranya saja
Amalan Baru Yang Tidak Memiliki Dalil Atau Bertentangan Dengan Syari’at
1.Melakukan
shalat karena adanya bulan purnama. Tidak ada sumbernya
2.Adzan dan
Iqamat ketika akan mandi, makan dll. Tidak ada sumbernya
3.Shalat dengan
mengangkat kaki sebelah Bertentangan dengan Hadits-Hadits shalat
4.Shalat dengan
berbahasa selain bahasa arab. Tidak ada sumbernya bahkan bertentangan dengan
Hadits-hadits shalat.
HADITS KETIGA
Rasulullah SAW bersabda:
وَمَنِ ابْتَدَعَ
بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ
مَنْ عَمِلَ بِهَا
...
“.. Dan barangsiapa mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi oleh
Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak dosa orang
lain yang ikut mengerjakannya.“ (HR. Tirmidzi).
Dalam Hadits diatas terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”. Dalam Hadits
tersebut kata ‘Bid’ah’ dan ‘sesat’ adalah mudhaf dan mudhaf ‘ilaih (gramer
Arab). Bila merujuk pada ilmu gramer bahasa Arab, bab “Mudhaf” dan
“Na’at-man’ut”, susunan kalimat itu memberi arti adanya Bid’ah yang tidak
sesat. Bahkan dalam bahasa Indonesiapun demikian. Kalau Anda berkata “Saya
tidak suka tali yang panjang”, itu berarti menurut Anda ada tali yang pendek.
Sebagai penutup bab ini, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :
وَمَا اَتَاكُمُ
الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا
‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang
dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7)
Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama
adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama
adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini
tidak dikatakan:
وَماَ لَمْ
يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah
(mengerjakannya).”
Juga dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari:
اِذَا أمَرْتُكُمْ
بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
فَاجْتَنِبُوْهُ
“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan jika
aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.”
Perhatikan, dalam Hadits ini Rasulullah SAW tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ
أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
“Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’
Jadi, pemahaman melarang semua hal baru (Bid’ah) dengan dalil Hadits
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah Bid’ah” dan Hadits “Barang siapa
yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ..“ adalah pemahaman yang
tidak benar, karena banyak pernyataan atau ikrar dari Rasulullah SAW dalam
Hadits-hadits yang lain yang menyimpulkan adanya restu beliau terhadap banyak
hal baru atas inisiatif para sahabat. Dari itu, para ulama menarik kesimpulan
bahwa Bid’ah (prakarsa) sesat ialah yang bersifat men-syari’atkan hal baru dan
menjadikannya sebagai bagian dari agama tanda seizin Allah Allah SWT (QS
Asy-Syura : 21), serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah
digariskan oleh syari’at Islam, misalnya sengaja shalat tidak menghadap kearah
kiblat, shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir, melakukan shalat
dengan satu sujud saja, melakukan shalat shubuh dengan sengaja sebanyak tiga
raka’at dan sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan
dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna Hadits yang mengatakan “mengada-adakan sesuatu” adalah masalah
pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang
tidak boleh dirubah atau ditambah. Misalnya ada orang mengatakan bahwa shalat
wajib itu dua kaili sehari, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Misalnya
juga, orang yang sanggup -tidak berhalangan- berpuasa wajib pada bulan Ramadhan
boleh tidak perlu puasa pada bulan tersebut, tapi bisa diganti dengan puasa
pada bulan apa saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama,
bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok
agama.
______________________________________
[1] “Al-Munjid
fil Lughah wal-A’lam“, alpabet ب
[2] Ibnu Hajar
al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII : 253.
[3] Iqthidho
Shirath al-Mustaqim hal. 272
[4] Tafsir
al-Manar, IX: 60.
[5] Ibnu Hajar
al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut
[6] Ibnu Hajar
al-Asqalani, Fath al-Baari, IV : 318.
[7] Syarh
an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, VI : 154-155, Dar Ihya Turats al-Arab, Beirut.
[8] An-Nawawi,
Syarah Sahih Muslim, VI : 154.
[9] KH. Ali
Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah.
[10]
Diriwayatkan dari 'Aiysah dan Abu Hurairah oleh al-Bukhari, Muslim,
at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad melalui sembilan belas periwayatan.
[11] KH. Ali
Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah
Sumber :
dokumen piss dengan penambahan seperlunya..