Senin, 28 November 2016

REBO WEKASAN DARI SUDUT PANDANG TRADISI DAN SYARIAT

بسم اللّٰه الرحمن الرحيم Sebagaiman umat islam ketahui bahwa bulan Shafar adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam. Seperti bulan lainnya, ia merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang tidak memiliki kehendak dan berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.<> Pada masa masyarakat jahiliyah , termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Tasa'um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliyah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini. Sahabat AbuDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: لا عدوى و لا طيرة و لا صفر و لا هامة , فقال أعرابي : ما بال الإبل تكون في الرمل كأنها الظباء فيخالطها بعير أجرب فيجربها؟ قال : فمن أعدى الأول “”Tidak ada penyakit menular, tidak boleh menganggap sial dengan burung, dan tidak ada kesialan pada bulan Safar, dan tidak ada hammah (penafsiran pertama: penyakit menular; kedua: sejenis burung hantu, di mana orang-orang Arab menganggap adanya burung tersebut sebagai tanda akan adanya kematian).” Orang Arab Badui berkata, “Ada apa dengan unta yang berada di padang pasir bagaikan kijang-kijang yang kuat, lalu ia disatukan dengan unta yang sakit, ternyata unta yang sehat ini menjadi sakit?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang menularkan pertama kali penyakit tersebut kepada unta tersebut? (Unta tersebut atau Allah Ta’ala?)”” (H.R. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad) Ungkapan hadits laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah. Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah. Dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda: “Janganlah onta yang sakit didatangkan pada onta yang sehat”. Maksud hadits laa thiyaarota atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin. Dus, zaman atau masa tidak ada sangkut pautnya dengan pengaruh dan takdir Allah. Ia sama seperti waktu- waktu yang lain, ada takdir buruk dan takdir baik. Empat hal sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas itulah yang ditiadakan oleh Rasulullah dan ini menunjukkan akan wajibnya bertawakal kepada Allah, memiliki tekad yang benar, agar orang yang kecewa tidak melemah di hadapkan pada perkara-perkara tersebut. Bila seorang muslim pikirannya disibukkan dengan perkara-perkara tersebut, maka tidak terlepas dari dua keadaan. Pertama: menuruti perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau meresponsnya, maka ketika itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Kedua: tidak menuruti perasaan sial itu dengan melanjutkan aktivitasnya dan tidak memedulikan, tetapi dalam hatinya membayang perasaan gundah atau waswas. Meskipun ini lebih ringan dari yang pertama, tetapi seharusnya tidak menuruti perasaan itu sama sekali dan hendaknya bersandar hanya kepada Allah. Penolakan akan ke empat hal di atas bukanlah menolak keberadaannya, karena kenyataanya hal itu memang ada. Sebenarnya yang ditolak adalah pengaruhnya. Allah-lah yang memberi pengaruh. Selama sebabnya adalah sesuatu yang dimaklumi, maka sebab itu adalah benar. Tapi bila sebabnya adalah sesuatu yang hanya ilusi, maka sebab tersebut salah. Muktamar NU yang ketiga, menjawab pertanyaan “bolehkah berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada tiap-tiap bulan, sebagaimana tercantum dalam kitab Lathaiful Akbar” memilih pendapat yang tidak mempercayai hari naas dengan mengutip pandangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah berikut ini: “Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali kw. Adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54). Indikasi Kesialan dalam Quran dan Hadits Mungkin ada pertanyaan, bagaimana dengan firman Allah Ta’ala, yang artinya:’’Kaum ‘Aad pun mendustakan (pula). Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku, Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus. yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok korma yang tumbang” (Q.S al-Qamar (54:18-20). Imam al-Bagawi dalam tafsir Ma’alim al-Tanzil menceritakan, bahwa kejadian itu (fi yawmi nahsin mustammir) tepat pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Orang Jawa pada umumnya menyebut Rabu itu dengan istilah Rabu Wekasan. Hemat penulis, penafsiran ini hanya menunjukkan bahwa kejadian itu bertepatan dengan Rabu pada Shafar dan tidak menunjukkan bahwa hari itu adalah kesialan yang terus menerus. Istilah hari naas yang terus menerus atau yawmi nahsin mustammir juga terdapat dalam hadis nabi. Tersebut dalam Faidh al-Qadir, juz 1, hal. 45, Rasulullah bersabda, “Akhiru Arbi’ai fi al-syahri yawmu nahsin mustammir (Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial terus).” Hadits ini lahirnya bertentangan dengan hadits sahih riwayat Imam al-Bukhari sebagaimana disebut di atas. Jika dikompromikan pun maknanya adalah bahwa kesialan yang terus menerus itu hanya berlaku bagi yang mempercayai. Bukankah hari-hari itu pada dasarnya netral, mengandung kemungkinan baik dan jelek sesuai dengan ikhtiar perilaku manusia dan ditakdirkan Allah. Namun beberapa ulama mengatakan bahwa ayat Alquran, “Yawma Nahsin Mustamir” yakni “Hari berlanjutnya pertanda buruk” merujuk pada hari ini. Nah, Dalam budaya Jawa (kekhalifahan/kerajaan mataram Islam) tradisi rabu terakhir bulan safar ini di akomodir dalam tradisi Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan. Berbagai macam aktivitas islami hadir dalam tradisi rebo wekasan di masyarakat jawa, dari mulai berkumpul untuk tahlilan (zikir bersama), berbagi makanan baik dalam bentuk gunungan maupun selamatan, sampai sholat sunnah lidaf’il balaa bersama.Bagaimana dengan pandangan Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur Fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur (penulis sendiri terus terang belum mengetahui dan meneliti kebenaran nama dan kitab ini, bahkan dalam beberapa tulisan kitab ini disebut dengan Kanzun Najah Was-Suraar Fi Fadhail Al-Azmina Wash-Shuhaar dan Kanju al-Najah wa al-Surur fi al-Adiyati al-Lati Tasrohu al-Sudur) yang menjelaskan: banyak para Wali Allah yang mempunyai pengetahuan spiritual yang tinggi mengatakan bahwa pada setiap tahun, Allah menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar. Oleh sebab itu hari tersebut menjadi hari yang terberat di sepanjang tahun. Maka barangsiapa yang melakukan shalat 4 rakaat (nawafil, sunnah), di mana setiap rakaat setelah al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar 17 kali lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas masing-masing sekali; lalu setelah salammembaca do’a, maka Allah dengan kemurahan-Nya akan menjag a orang yang bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun. Mengenai amalan-amalan tersebut di atas, mengutip KH. Abdul Kholik Mustaqim, Pengasuh Pesantren al-Wardiyah Tambakberas Jombang, para ulama yang menolak adanya bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan berpendapat (dikutip dengan penyesuaian): Pertama, tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Shofar, yang ada hanya nash hadits dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus menerus, dan hadits dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan. Kedua, tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’.Ada anjuran dari sebagian ulama’ tasawwuf namun landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara syar’i.Ketiga, tidak boleh, kecuali hanya sebatas sholat hajat lidaf’ilbala’almakhuf (untuk menolak balak yang dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh (sholat sunah mutlak) sebagaimana diperbolehkan oleh Syara’, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. KH.Hasyim Asy’arie pendiri NU juga pernah berfatwa, tidak boleh mengajak atau melakukan sholat Rebo wekasan karena hal itu tidak ada syariatnya. KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) berfatwa kalau dikampung-kampung masih ada orang yang menjalankan sholat rebo wekasan, ya niatnya saja yang harus diubah. Jangan niat sholat Rebo wekasan, tapi niat sholat sunat mutlak gitu saja, atau niat sholat hajat walau hajatnya minta dijauhkan dari bala’, pokoknya jangan niat sholat Rebo wekasan karena memang nggak ada dasarnya. Sejalan dengan itu Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftakhul Akhyar tentang hadits kesialan terus menerus pada Rabu terakhir tiap bulan, menyatakan: “Naas yang dimaksud adalah bagi mereka yang meyakininya, bagi yang mempercayainya, tetapi bagi orang-orang yang beriman meyakini bahwa setiap waktu, hari, bulan, tahun ada manfaat dan ada mafsadah, ada guna dan ada madharatnya. Hari bisa bermanfaat bagi seseorang, tetapi juga bisa juga naas bagi orang lain…artinya hadits ini jangan dianggap sebagai suatu pedoman, bahwa setiap Rabu akhir bulan adalah hari naas yang harus kita hindari. Karena ternyata pada hari itu, ada yang beruntung, ada juga yang buntung. Tinggal kita berikhtiar meyakini, bahwa semua itu adalah anugerah Allah.” Wallahu ‘A’lam. Syafaat 2016 Dikutip dari beberapa sumber

Senin, 25 April 2016

PESAN UKHUWAH


#PESAN UKHUWAH Dari GURU SIDOGIRI

Diam-diam ternyata saya menyukai semangat FPI dalam memberantas kemunkaran. Saya tahu, kadangkala ada yang salah dalam aksi mereka. Namun, kesalahan mereka tidaklah seberapa dibanding kesalahanku yang takut dan tak peduli dengan kemunkaran yang merajalela.

Diam-diam ternyata saya menyukai semangat dan ketulusan Jamaah Tabligh dalam meramaikan salat berjemaah di masjid. Saya tahu, kadangkala ada yang salah dalam tindakan sebagian mereka. Namun, kesalahan mereka tidaklah seberapa dibanding kesalahanku yang tidak melakukan apa- apa saat tetanggaku banyak yang tidak salat.

Diam-diam ternyata saya menyukai semangat Hizbut Tahrir dalam membangun khilafah. Saya tahu, ada yang salah dalam sebagian konsep khilafah mereka. Namun, kesalahakanku yang tak mau berbuat apa-apa untuk penegakan syariat Islam, jauh lebih besar daripada kesalahan mereka.

Diam-diam ternyata saya menyukai cara berpolitik orang-orang PKS. Saya tahu, mereka banyak dihuni oleh tokoh-tokoh di luar Nahdlatul Ulama; dan yang namanya partai politik pasti cukup banyak kesalahan oknum mereka. Namun, kesalahan mereka tidaklah seberapa dibanding kesalahanku memilih partai yang cenderung sekuler dan anti penerapan syariat Islam.

Bahkan, diam-diam ternyata saya juga suka dengan keberanian Al-Qaidah dalam melawan kezaliman politik Amerika dan Israel. Aku tahu, mereka melakukan beberapa kesalahan, tapi kesalahanku yang tidak peduli dengan nasib umat Islam jauh lebih besar daripada kesalahan mereka.

Dan, dengan terang-terangan saya menyatakan sangat mengagumi Nahdlatul Ulama. Yakni, NU yang sesuai dengan pandangan Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari. Bukan NU yang menjadi kendaraan politik. Bukan NU yang dipenuhi kepentingan pragmatis. Bukan NU yang menjadi pembela Syiah dan Ahmadiyah. Bukan NU yang melindungi liberalisme. Dan, bukan NU yang menjadikan Rahmatan Lil Alamin sebagai justifikasi untuk ketidakpeduliannya terhadap perjuangan penegakan syariat,” demikian tulisnya.

القسم الثاني القول في اجتناب المعاصى
توطئة
واعلم أنك إنما تعصي الله بجوارحك، وهي نعمة من الله عليك
 وأمانة لديك، فاستعانتك بنعمة الله على معصيته غاية الكفران، وخيانتك في أمانة استودعها الله غاية الطغيان؛ فأعضاؤك رعاياك، فانظر كيف ترعاها؛ فكلكم راع، وكلكم مسؤول عن رعيته.
واعلم أن جميع أعضائك ستشهد عليك في عرصات القيامة بلسان طلق ذلق، تفضحك به على رؤوس الخلائق، قال الله تعالى: (يوم تشهد عليهم ألسنتهم وأيديهم وأرجلهم بما كانوا يعملون) ، وقال الله تعالى: (اليوم نختم على افواههم وتكلمنا أيديهم وتشهد أرجلهم بما كانوا يكسبون) . فاحفظ يا مسكين جميع بدنك من المعاصى، وخصوصا أعضاءك السبعة؛ فإن جهنم لها سبعة أبواب لكل باب منهم جزء مقسوم، ولا يتعين لتلك الابواب إلا من عصا الله تعالى بهذه الاعضاء السبعة، وهي: العين، والأذن، واللسان، والبطن، والفرج، واليد، والرجل.

BAGIAN KEDUA  : MENGHINDARI KEMAKSIATAN
Ketahuilah bahwa ketika engkau bermaksiat sesungguhnya engkau melakukan maksiat tersebut dengan anggota badanmu padahal ia merupakan nikmat dan amanat Allah yang diberikan kepadamu. Mempergunakan nikmat Allah dalam rang­kat bermaksiat kepada-Nya adalah puncak kekufuran. Dan berkhianat terhadap amanat yang dititipkan Allah kepadamu betul-betul merupakan perbuatan yang me­lampaui batas. Anggota badanmu adalah rakyat atau gembalaanmu, maka perhatikan dengan baik bagaimana kamu menggembalakan mereka. Masing-masing kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung ja­wab atas yang dipimpinnya. Sadarlah bahwa semua anggota badanmu akan menjadi saksi atasmu pada hari kiamat dengan lidah yang fasih. Ia akan menyingkap rahasiamu di hadapan semua makhluk. Allah Swt. berfirman, “Pada hari dimana lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas perbuatan yang kalian lakukan” (Q.S. an-Nur: 24) Allah Swt berfirman, “Pada hari ini, Kami tutup mulut mereka sedangkan tangan mereka berbicara pada Kami dan kaki mereka menjadi saksi atas apa yang mereka kerjakan” (Q.S. Yasin: 65).
Oleh karena itu, peliharalah semua anggota badanmu dari maksiat, khususnya tujuh anggota badanmu karena neraka Jahannam memiliki tujuh pintu. Masing-masing mereka mempunyai bagian tersendiri. Yang masuk ke dalam pintu-pintu neraka Jahannam itu adalah mereka yang bermaksiat kepada Allah Swt. dengan tujuh anggota badan tersebut, yaitu mata, telinga, lidah, perut, kemaluan, tangan, dan kaki.

( KITAB BIDAYATUL BIDAYAH, AL IMAM HUJJATUL ISLAM  ABU HAMID  MUHAMMAD BIN MUAHAMMAD  BIN MUHAMMAD AL GHOZALLY )

Selasa, 16 Desember 2014

KANZUL KAROMI: UCAPAN SELAMAT NATAL DAN HUKUM MENGUCAPKANNYA KEPA...

KANZUL KAROMI: UCAPAN SELAMAT NATAL DAN HUKUM MENGUCAPKANNYA KEPA...: Setiap Tanggal 25 Desember  Umat Nasrani ( Baik Yang Katolik  Maupun Protestan) Merayakan Hari Raya Agama Mereka , Yaitu Hari Raya Natal, ...

UCAPAN SELAMAT NATAL DAN HUKUM MENGUCAPKANNYA KEPADA NON MUSLIM

Setiap Tanggal 25 Desember  Umat Nasrani ( Baik Yang Katolik  Maupun Protestan) Merayakan Hari Raya Agama Mereka, Yaitu Hari Raya Natal,  Natal Sendiri Mempunyai Arti Lahir Atau Kelahiran, Yaitu Hari Lahir Yesus Kristus Tuhan Mereka,  Di  Beberapa Sudut Pertokoan, Mall-Mall  Mulai Ramai Dengan Hiasan Natal Supermarket-Supermarket Yang Mulanya Sepi-Sepi Saja, Kini Dihiasi Dengan Pernak-Pernik Natal . Media Massa Pun Tidak Ketinggalan Ikut Memeriahkan Hari Raya Ini Dengan Menayangkan Acara-Acara Spesial Natal, Lalu Bagaimana Pandangan Hukum Menurut Syariat Islam ?
Baiklah Kita Ikuti Tanya Jawab Yang  Saya  Ambil Dari Berbagai Sumber.
PERTANYAAN
a. Bagaimanakah hukumnya seorang muslim mengucapkan “selamat hari natal” sebagai bentuk dari ukhuwwah al-Basyariyyah (toleransi sesama manusia) ?
b.Toleransi yang bagaimanakah yang diajarkan oleh syariat agama terhadap Non-Muslim ?
JAWABAN
Ada hadits, antara lain diriwayatkan oleh Imam Mulis—yang melarang seorang Muslim memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits tersebut menyatakan, “Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu bertemu mereka di jalan, jadikanlah mereka terpaksa ke pinggir.”
Ulama berbeda paham tentang makna larangan tersebut. Dalam kitab Subul as-Salam antara lain dikemukakan bahwa sebagian ulama bermadzhab Syafi’i tidak memahami larangan tersebut dalam arti haram, sehingga mereka memperbolehkan menyapa non-Muslim dengan ucapan salam. Pendapat ini merupakan juga pendapat sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Al-Qadhi Iyadh dan sekelompok ulama lain membolehkan mengucapkan salam kepada mereka kalau ada kebutuhan. Pendapat ini dianut juga oleh Alqamah dan al-Auza’i. 
Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu, karena agaknya larangan tersebut timbul dari sikap permusuhan orang-orang Yahudi dan Nasrani ketika itu kepada kaum Muslim. Bahkan dalam riwayat Bukhari dijelaskan tentang sahabat Nabi, Ibnu Umar, yang menyampaikan sabda Nabi saw bahwa orang Yahudi bila mengucapkan salam terhadap Muslim tidak berkata, “Assalamu’alaikum,” tetapi“Assamu’alaikum” yang berarti “Kematian atau kecelakaan untuk Anda.”
Mengucapkan “selamat Natal” masalahnya berbeda. Dalam masyarakat kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan dengan beberapa catatan khusus.
Sebenarnya, dalam Al-Quran ada ucapan selamat atas kelahiran ‘Isa: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidu kembali (QS. Maryam [19]: 33). Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi, persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.
Yang melarang ucapan “Selamat Natal”  mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus Kristus. Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan “Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan.
Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas. Itu semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan al-Quran tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak disalahpahami. Kata “Allah”, misalnya, tidak digunakan ketika pengertian semantiknya di kalangan masyarakat belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti kata Allah ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad). Demikian wahyu pertama hingga surah al-Ikhlas.
Nabi sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan beliau tidak sekali pun bertanya, “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi seperti itu, karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan di satu tempat—suatu hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata “ada” bagi Tuhan tetapi “wujud Tuhan”.
Ucapan selamat atas kelahiran Isa (Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam Al-Quran, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran Kristen yang keyakinannya terhadap Isa al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantarkan kita pada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan alasan ini, lahirlah larangan fatwa haram untuk mengucapkan “Selamat Natal”, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apapun yang berkaitan atau membantu terlaksanannya upacara Natal tidak dibenarkan.
Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”. Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Quran mengaitkannya dengan ucapan Isa,“Sesungguhnya aku ini, hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.” (QS. Maryam [19]: 30).
Nah, salahkan bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan itu? Bukankah al-Quran telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai hamba dan utusan Allah? Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk Isa as, sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul? Tidak bolehkan kita merayakan hari lahir (natal) Isa as? Bukankah Nabi saw juga merayakan hari keselamatan Musa dari gangguan Fir’aun dengan berpuasa Asyura, sambil bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya, “Saya lebih wajar menyangkut Musa (merayakan/mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-orang Yahudi),” maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud), melalui Ibnu Abbas—lihat Majma; al-Fawaid, hadits ke-2.981).
Itulah, antara lain, alasan membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual.
Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan tersebut lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika seseorang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” yang Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana ia diucapkan—sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim yang lain—maka agaknya tidak beralasanlah larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seseorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Qur’an?
Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, al-Quran dan hadits Nabi memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan persepsinya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya, karena si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan persepsinya pula. Di sini, kalaupun non-Muslim memahami ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya mengucapkan sesuai dengan penggarisan keyakinannya.
Tidak keliru, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan mengucapkan “Selamat Natal”, bila larangan itu ditujukan kepada yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Akan tetapi, tidak juga salah yang membolehkannya selama pengucapnya arif bijaksana dan tetap memelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.
Boleh jadi, pendapat ini dapat didukung dengan menganalogikannya dengan pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ulama yang menyatakan bahwa seorang Nasrani bila menyembelih binatang halal atas nama al-Masih, maka sembelihan tersebut boleh dimakan Muslim, baik penyebutan tersebut diartikan sebagai permohonan shalawat dan salam untuk beliau maupun dengan arti apa pun. Demikian dikutip al-Biqa’i dalam tafsirnya ketika menjelaska QS. Al-An’am [6]: 121, dari kitab ar-Raudhah.
Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.
KESIMPULANNYA :
a. Mengucapkan “selamat hari natal”  tidak diperbolehkan (haram)  dengan berbagai pertimbangan :
• Terdapat unsur memuliakan/ membenarkan / ridho terhadap keyakinan Non-Muslim
• Akan menimbulkan persepsi positif terhadap akidah mereka kepada khalayak umum, akan tetapi jika sikap ini justru akan menimbulkan penilaian negative terhadap Islam dan juga di perlukan( misal terhadap saudara/kerabat( maka di perbolehkan ( ada yang memakruhkan) mengucapkannya dengan syarat ucapan tersebut bukan dalam rangka memberikan penghormatan tetapi demi menampakkan keindahan dan cinta kasih dalam Islam
b. Toleransi yang hanya sebatas dhahir artinya tidak sampai menimbulkan ekses menyukai serta tidak menimbulkan persepsi salah atau menjadi dalil di bolehkan mengucapkan selamat hari natal kepada non muslim  di kalangan orang awam.
REFERENSI :
Prof. Dr. Kh. Qurays Syihab
Tafsir Al Biqa’i
Shahih Bukhari
Shahih Muslim,
Sunan Abu Dawud
Subul As-Salam Karya Muhammad Bin Ismail Al-Kahlani (Jil. Iv, Hlm. 155)
Majma; Al-Fawaid, Hadits Ke-2.981).
Kitab Ar-Raudhah.
Juga Keterangan Lain Dari  Ulama’ Salafus Sholih   Di Bawah Ini :
واعلم أن كون المؤمن موالياً للكافر يحتمل ثلاثة أوجه أحدها : أن يكون راضياً بكفره ويتولاه لأجله ، وهذا ممنوع منه لأن كل من فعل ذلك كان مصوباً له في ذلك الدين ، وتصويب الكفر كفر والرضا بالكفر كفر ، فيستحيل أن يبقى مؤمناً مع كونه بهذه الصفة.
فإن قيل : أليس أنه تعالى قال : {وَمَن يَفْعَلْ ذَالِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَىْءٍ} وهذا لا يوجب الكفر فلا يكون داخلاً تحت هذه الآية ، لأنه تعالى قال : {ذَالِكَ بِأَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا } فلا بد وأن يكون خطاباً في شيء يبقى المؤمن معه مؤمناً وثانيها : المعاشرة الجميلة في الدنيا بحسب الظاهر ، وذلك غير ممنوع منه.
والقسم الثالث : وهو كالمتوسط بين القسمين الأولين هو أن موالاة الكفار بمعنى الركون إليهم والمعونة ، والمظاهرة ، والنصرة إما بسبب القرابة ، أو بسبب المحبة مع اعتقاد أن دينه باطل فهذا لا يوجب الكفر إلا أنه منهي عنه ، لأن الموالاة بهذا المعنى قد تجره إلى استحسان طريقته والرضا بدينه ، وذلك يخرجه عن الإسلام فلا جرم هدد الله تعالى فيه فقال : {وَمَن يَفْعَلْ ذَالِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَىْءٍ} .
Tafsiir al-Fakhr ar-Raazi I/1124
********************
باب الردة
وسئل رحمه الله تعالى ورضي عنه هل يحل اللعب بالقسي الصغار التي لا تنفع ولا تقتل صيد إبل أعدت للعب الكفار وأكل الموز الكثير المطبوخ بالسكر وإلباس الصبيان الثياب الملونة بالصفرة تبعاً لاعتناء الكفرة بهذه في بعض أعيادهم وإعطاء الأثواب والمصروف لهم فيه إذا كان بينه وبينهم تعلق من كون أحدهما أجيراً للآخر من قبيل تعظيم النيروز ونحوه، فإن الكفرة صغيرهم وكبيرهم وضيعهم ورفيعهم حتى ملوكهم يعتنون بهذه القسي الصغار واللعب بها وبأكل الموز الكثير المطبوخ بالسكر اعتناء كثيراً وكذا بإلباس الصبيان الثياب المصفرة وإعطاء الأثواب والمصروف لمن يتعلق بهم وليس لهم في ذلك اليوم عبادة صنم ولا غيره وذلك إذا كان القمر في سعد الذابح في برج الأسد وجماعة من المسلمين إذا رأوا أفعالهم يفعلون مثلهم فهل يكفر أو يأثم المسلم إذا عمل مثل عملهم من غير اعتقاد تعظيم عيدهم ولا اقتداء بهم أو لا؟. فأجاب نفع الله تبارك وتعالى بعلومه المسلمين بقوله: لا كفر بفعل شيء من ذلك، فقد صرح أصحابنا بأنه لو شد الزنار على وسطه أو وضع على رأسه قلنسوة المجوس لم يكفر بمجرد ذلك اهـ، فعدم كفره بما في السؤال أولى وهو ظاهر بل فعل شيء مما ذكر فيه لا يحرم إذا قصد به التشبه بالكفار لا من حيث الكفر وإلا كان كفراً قطعاً، فالحاصل أنه إن فعل ذلك بقصد التشبه بهم في شعار الكفر كفر قطعاً أو في شعار العيد مع قطع النظر عن الكفر لم يكفر، ولكنه يأثم وإن لم يقصد التشبه بهم أصلاً ورأساً فلا شيء عليه، ثم رأيت بعض أئمتنا المتأخرين ذكر ما يوافق ما ذكرته فقال: ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون، وقد قال : «من تشبه بقوم فهو منهم» ، بل قال ابن الحاج : لا يحل لمسلم أن يبيع نصرانياً شيئاً من مصلحة عيده لا لحماً ولا أدماً ولا ثوباً ولا يعارون شيئاً ولو دابة إذ هو معاونة لهم على كفرهم وعلى ولاة الأمر منع المسلمين من ذلك. ومنها اهتمامهم في النيروز بأكل الهريسة واستعمال البخور في خميس العيدين سبع مرات زاعمين أنه يدفع الكسل والمرض وصبغ البيض أصفر وأحمر وبيعه والأدوية في السبت الذي يسمونه سبت النور وهو في الحقيقة سبت الظلام ويشترون فيه الشبث ويقولون أنه للبركة ويجمعون ورق الشجر ويلقونها ليلة السبت بماء يغتسلون به فيه لزوال السحر ويكتحلون فيه لزيادة نور أعينهم ويدهنون فيه بالكبريت والزيت ويجلسون عرايا في الشمس لدفع الجرب والحكة ويطبخون طعام اللبن ويأكلونه في الحمام إلى غير ذلك من البدع التي اخترعوها ويجب منعهم من التظاهر بأعيادهم اهـ.
فتاوى ابن حجر الهيثمي رقم الجزء: 4 رقم الصفحة: 238
******************************
وَعَنْ شَرْحِ الْكَرْمَانِيِّ عَنْ النَّوَوِيِّ أَنَّ هَذِهِ الْقِطْعَةَ مُشْتَمِلَةٌ عَلَى جُمَلٍ مِنْ الْقَوَاعِدِ مِنْهَا اسْتِحْبَابُ تَصْدِيرِ الْكُتُبِ بِالْبَسْمَلَةِ ، وَإِنْ كَانَ الْمَبْعُوثُ إلَيْهِ كَافِرًا وَمِنْهَا سُنِّيَّةُ الِابْتِدَاءِ فِي الْمَكْتُوبِ بِاسْمِ الْكَاتِبِ أَوَّلًا وَلِذَا كَانَ عَادَةُ الْأَصْحَابِ أَنْ يَبْدَءُوا بِأَسْمَائِهِمْ وَرَخَّصَ جَمَاعَةٌ الِابْتِدَاءَ بِالْمَكْتُوبِ إلَيْهِ كَمَا كَتَبَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ إلَى مُعَاوِيَةَ مُبْتَدِئًا بِاسْمِ مُعَاوِيَةَ وَأَنَا أَقُولُ فِيهِ أَيْضًا اسْتِحْبَابُ تَعْظِيمِ الْمُعَظَّمِ عِنْدَ النَّاسِ وَلَوْ كَافِرًا إنْ تَضَمَّنَ مَصْلَحَةً وَفِيهِ أَيْضًا إيمَاءٌ إلَى طَرِيقِ الرِّفْقِ وَالْمُدَارَاةِ لِأَجْلِ الْمَصْلَحَةِ وَفِيهِ أَيْضًا جَوَازُ السَّلَامِ عَلَى الْكَافِرِ عِنْدَ الِاحْتِيَاجِ كَمَا نُقِلَ عَنْ التَّجْنِيسِ مِنْ جَوَازِهِ حِينَئِذٍ ؛ لِأَنَّهُ إذًا لَيْسَ لِلتَّوْقِيرِ بَلْ لِلْمَصْلَحَةِ وَلِإِشْعَارِ مَحَاسِنِ الْإِسْلَامِ مِنْ التَّوَدُّدِ وَالِائْتِلَافِ وَفِيهِ أَيْضًا أَنَّهُ لَا يَخُصُّ بِالْخِطَابِ فِي السَّلَامِ عَلَى الْكَافِرِ وَلَوْ لِمَصْلَحَةٍ بَلْ يَذْكُرُ عَلَى وَجْهِ الْعُمُومِ وَفِيهِ أَيْضًا أَنَّهُ ، وَإِنْ رَأَى السَّلَامَ عَلَى الْكَافِرِ ، وَلَكِنْ لَمْ يَرِدْ ؛ لِأَنَّهُ فِي الْبَاطِنِ وَالْحَقِيقَةِ لَيْسَ لَهُ بَلْ لِمَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى وَظَاهِرٌ أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ تَبَعِيَّةُ هُدًى بَلْ فِيهِ إغْرَاءٌ عَلَى دَلِيلِ اسْتِحْقَاقِ الدُّعَاءِ بِالسَّلَامِ مِنْ تَبِيعَةِ الْهُدَى .
بريقة محمودية رقم الجزء: 2 رقم الصفحة: 354
******************************
قال الشيخ عميرة قال الروياني لا يجوز التأمين على دعاء الكافر لأنه غير مقبول أي لقوله تعالى وما دعاء الكافرين إلا في ضلال ا ه سم على المنهج ونوزع فيه بأنه قد يستجاب لهم استدراجا كما استجيب لإبليس فيؤمن على دعائه هذا ولو قيل وجه الحرمة أن في التأمين على دعائه تعظيما له وتقريرا للعامة بحسن طريقته لكان حسنا وفي حج ما نصه وبه أي بكونهم قد تعجل لهم الإجابة استدراجا يرد قول البحر يحرم التأمين على دعاء الكافر لأنه غير مقبول ا ه على أنه قد يختم له بالحسنى فلا علم بعدم قبوله إلا بعد تحقق موته على الكفر ثم رأيت الأذرعي قال إطلاقه بعيد والوجه جواز التأمين بل ندبه إذا دعا لنفسه بالهداية ولنا بالنصر مثلا ومنعه إذا جهل ما يدعو به لأنه قد يدعو بإثم أي بل هو الظاهر من حاله فرع في استحباب الدعاء للكافر خلاف ا ه
حاشية الجمل على المنهج لشيخ الإسلام زكريا الأنصاري رقم الجزء: 3 رقم الصفحة: 576
******************************
( تَنْبِيهٌ ) قَضِيَّةُ تَعْبِيرِهِمْ بِالْوُجُوبِ أَخْذًا مِنْ الْخَبَرِ أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى الْمُسْلِمِ عِنْدَ اجْتِمَاعِهِمَا فِي طَرِيقٍ أَنْ يُؤْثِرَهُ بِوَاسِعِهِ ، وَفِي عُمُومِهِ نَظَرٌ ، وَاَلَّذِي يَتَّجِهُ أَنَّ مَحَلَّهُ إنْ قَصَدَ بِذَلِكَ تَعْظِيمَهُ ، أَوْ عُدَّ تَعْظِيمًا لَهُ عُرْفًا ، وَإِلَّا فَلَا وَجْهَ لِلْحُرْمَةِ
Tuhfah al-Muhtaaj 40/259


Minggu, 23 November 2014

KHUTBAH JUMAT TERBARU

EMPAT (4)  MACAM GOLONGAN MANUSIA

nu.or.id


Dalam salah satu taushiyahnya Sayyidul Auliya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pernah membagi jenis manusia dalam empat bagian besar. pertama; mereka yang hati dan lisannya mati. Kedua, mereka yang mati hatinya namun lisannya bercerita. ketiga mereka yang kelu lidahnya, tetapi hayat hatinya. dan terakhir mereka yang berilmu dan berkarya sesuai ilmunya. 
اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَـقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اله إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله.اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أله وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. أما بعد فياعباد الله أوصيكم ونفسى بتقوى الله فقد فاز المتقون, اتقو الله حق تقاته ولاتموتن ألا وأنتم مسلمون   

Jama’ah Jumu’ah rahimakumullah

Alhamdulillah negara kita telah memiliki pemimpin baru, semoga keberadaan pemimpin baru ini dapat memberi semangat kepada kita kaum muslimin Indonesia khususnya untuk meningkatkan kadar ketaqwaan kita. Karena taqwa merupakan unsur penentu keberhasilan hidup di dunia serta kebahagiaan kelak di akhirat.
Marilah pada kesempatan ini kita bersama-sama berusaha menilai dan menengok kondisi kehidupan ruhaniah kita bersama. Sesungguhnya kondisi ruhaniyah ini sangat berpengaruh pada kinerja lahiriah kita semua. Ini adalah hukum umum yang terjadi pada jamaknya manusia. Tidak peduli dia seorang menteri ataupun kuli, anggota dewan kehormatan maupun anggota perserikatan. Sungguh ini sangat berpengaruh, semoga kita semua diberikan petunjuk menuju jalan yang diridhai-Nya aimen.  

Jama’ah jum’ah yan berbahagia

Lantas bagaimanakah cara kita mengkondisikan dunia batiniah kita yang berada di dalam serta menghbungkannya dengan aktifitas keseharian lahiriah? Dalam nasehatnya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani seolah menumpukan kondisi ini pada tiga hal, hati, lisan dan karya. Kondisi hati harus senantiasa hidup dan aktif, sedangkan kondisi lisan sebaiknya selalu pasif dan mati, sedangkan badan harus selalu berkarya dan berkreasi.
Dalam salah satu wasiatnya sebagaimana dinukil oleh Syikh Nawawi Al-Bantani dalam Nashaihul Ibad, Sayyidul Auliya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pernah berpendapat bahwa tipe manusia dapat dibagi dalam empat kelompok besar:

Pertama, 
رَجُلٌ لاَ لِسَانَ لَهُ وَلاَ قَلْبَ وَهُوَ العَاصِى العَبِيّ

yaitu kelompok manusia yang tidak berlidah dan tidak berhati merekalah para pendurhaka kepada Allah. Maka janganlah kita sampai tergolong seperti mereka, apalagi berteman dengannya. Karena merekalah penghuni sah neraka.

Kedua,

 رَجُلٌ لَهُ لِسَانٌ بِلاَ قَلْبٍ فَيَنْطِقُ بِالْحِكْمَةِ وَلَايَعْمَلُ بِهَا يَدْعٌو النَّاسَ اِلَى اللهِ تَعَالىَ وَهُوَ يَفِرّ مِنْهٌ  

yaitu golongan yang memiliki lisan tetapi tidak berhati. Mereka berbicara dengan manisnya hikmah namun tidak mengamalkannya. Bahkan mereka mengajak orang-orang untuk menuju Allah swt. Tetapi mereka sendiri malah menjauhkan diri dari-Nya. Kepada mereka Syaikh Abdul Qadir mewanti-wanti kepada jangan sampai terbujuk keindahan rangakaian katanya yang dapat membakar mu bahkan dapat pula kebusukan hatinya membunuhmu.

Ketiga, 

رَجُلٌ لَهُ قَلْبٌ بِلَا لِسَانٍ وَهٌوَ مُؤْمِنٌ سَتَرَهُ اللهُ تَعَالَى عَنْ خَلْقِهِ وَبَصَرِهِ بِعُيُوْبِ نَفْسِهِ وِنَوَّرَ قَلْبَهُ وعَرَّفَهُ غَوَائِلَ مُخَالَطَةِ النَّاسِ وَشُؤْمِ الكَلاَمِ وَهُوَ وَلِيُّ اللهِ تعالى مَحْفُوْظٌ فى سِتْرِ الله تعالى
 yaitu kelompok memiliki hati tetapi tidak berlisan, merekalah orang mukmin yang disembunyikan Allah swt dari orang lain, serta Allah jaga matanya dengan perasaan hina akan dirinya sendiri. Kepada hati kelompok inilah Allah memberikan cahaya, sehingga mereka mengerti dampak bergumul (terusmenerus) dengan sesama manusia serta bahayanya banyak bicara. Mereka inilah kekasih (wali) Allah swt yang senantiasa disembunyikan Allah (dari khalayak ramai).
Keempat, 
رَجُلٌ تَعَلَّمَ وَعَلَّمَ وَعَمِلَ بِعِلْمِهِ وَهُوَ الْعَالِمُ بِالله تعالى وايَاتِه اسْتَوْدَعَ اللهُ قَلْبَهُ غَرَائِبَ عِلْمِهِ وَشَرّحَ صَدْرَه لِقَبُوْلِ الْعُلُوْم  
yaitu orang-orang yang belajar dan mengajar dan beramal dengan ilmunya itulah orang-orang yang mengerti kebesaran Allah. Oleh karena itulah menitipkan dalam hati mereka berbagai ilmu dan pengetahuan dan juga Allah lapangkan dadanya guna menerima titipan-titpan pengetahuan tersebut.
Maka kepada kelompok terakhir ini jangan sampai kita menjauhinya apalagi menentangnya. Bahkan kalau perlu sering-seringlah mendekatinya agar mendapatkan nasihat yang berguna.
Demikianlah empat macam golongan manusia hasil pengkelompokan Syiakh Abdul Qadi al-Jailani. Tentunya pengelompokan ini merupakan hasil penelitian yang cermat dengan berbagai pertimbangan dhahir dan bathin. Mengingat beliau sebagai seoang sayyidul auliya yang mengetahui dengan persis karakter manusia-manusia yang dicintai maupun dibenci Allah swt.
Selanjutnya Syaikh Abdul Qadir menutup nasihat dan hasil penelitiannya ini dengan sebuah penekanan yang berbunyai:
اِعْلَمْ اَنَّ أَصْلَ الزُّهْدِ الإِجْتِنَابُ عَنِ الْمَحَارِمِ كَبِيْرُهَا وَصَغِيْرُهَا وَاَدَاءُ جَمِيْعِ الْفَرَائِضِ يَسِيْرُهَا وَعَسِيْرُهَا وَتَرْكُ الدُّنْيَا عَلىَ اَهْلِهَا قَلِيْلُهَا وِكَثِيْرُهَا
Ketahuiah bahwa pokok-pokok ajaran zuhud adalah menjauhi berbagai hal-hal yang dilarang (haramkan) Allah swt, baik yang besar maupun kecil. Serta menjalankan berbagai kewajiban (faraidh) baik yang mudah maupun yang susah. Serta menyerahkan urusan dunia kepada para aahlinya (yang berekepentingan) baik urusan kecil maupun urursan besar.  
Keterangan penutup ini seolah memberikan isyarat kepada kita semua bahwa zuhud bukanlah sesuatu yang berat dan spesial yang hanya bisa dilakukan orang-orang tertentu. tetapi zuhud adalah laku alamiah yang dapat dicapai dengan berlatih dan berlatih memulai dari hal yang kecil. Zuhud tidak semata bersifat penghindaran, tetapi juga bersifat pelaksanaan. Dengan melaksanakan berbagai kewajiban syariah sama artinya dengan melatih diri membisakan zuhud.
Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah,
Dari keterangan di atas marilah kita meraba diri kita sendiri, termasuk ke dalam kelompok manakah diri ini. Janganlah kita menilai orang lain dengan mengelompokkan dalam kelompok yang buruk. Karena menganggap orang lain lebih buruk dari diri kita adalah suatu keburukan sendiri.
Demikianlah khutbah jum’ah hari ini semoga Allah swt memposisikan kita dalam kelompok orang-orang yang beruntung dan dicintai-Nya. Walaupun untuk menuju kesana kita sangat mengandalkan petunjuk dari-Nya. Amin

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا.

اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ 

وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ 

اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ 

وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ 

اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا 

ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ 

وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ 

اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ