Minggu, 16 November 2014

DEBAT TERBUKA IMAM ABU HANIFAH DENGAN DAHRI Si YAHUDI ATHEIS


“Pada suatu hari, kota Baghdad kedatangan seorang pendakwah (rahib) Yahudi bernama Dahri. Kedatangannya memicu kegemparan di kalangan umat Islam. Dahri mencoba merusak pegangan umat Islam dengan membahas soal-soal yang berhubungan dengan ketuhanan. Ditantangnya para ulama Baghdad untuk berdebat dengannya.
Setiap kali tantangannya disahut, argumen-argumen Dahri tidak pernah dapat dipatahkan sehingga akhirnya tidak ada lagi ulama Baghdad dan ulama-ulama disekitarnya yang sanggup berhadapan dengannya. Dari kejadian ini, tahulah Khalifah bahwa Baghdad sudah kehabisan  ulama yang benar-benar kredibel dan tinggi ketaqwaannya.
Lalu Khalifah memerintahkan beberapa orang menteri meninjau ke daerah lain, kalau-kalau masih ada ulama yang bisa dibawa menghadapi Dahri. Figur wakil Khalifah menemui Imam Hammad bin Abi Sulaimann Al-Asy ari, seorang ulama yang tidak kurang juga ketokohannya.
Khalifah memerintahkan hari perdebatan antara Imam Hammad dan Dahri disegerakan. Dan acara bersejarah itu harus dibuat di masjid jami’  di tengah-tengah kota Baghdad. Sehari sebelum pertemuan itu , Masjid Jami’  telah penuh sesak dengan orang banyak. Masing-masng menaruh harapan agar Imam Hammad berhasil menumbangkan Dahri karena beliaulah satu-satunya ulama yang diharapkan.
“Subhanallah …. Subhanallah …. Walauhaulawala quwwata illa billahi aliyyil azim ….!” Lidah Imam Hammad terus melafalkan kalimat mensucikan segala segala perkara yang tidak layak untuk Zat yang Maha Agung. Dia beristighfar terus. Rasanya sudah tidak sanggup telinganya menadah bermacam ejekan  yang dilemparkan oleh Dahri yang biadab dan matrialis itu. Memperdebatkan keesaan Allah SWT bukanlah hal kecil dalam Islam. Ini kasus berat! Hatinya cukup pedih. Roh ketauhidannya bergelora. Mau rasanya memenggal leher si Dahri yang angkuh itu di depan ribuan mata yang turut hadir dalam acara iru.
Keesokannya, pagi-pagi lagi muncul Abu Hanifah, murid Imam Hammad yang paling dekat dan paling disayanginya. Namanya yang sebenarnya adalah Nu ‘man, yang ketika itu usiannya masih remaja. Ketika  melihat kondisi gurunya itu, Abu Hanifah pun bertanya untuk mendapat kepastian. Lalu Imam Hammad menceritakan keadaan yang sebenarnya. Dalam pada itu teringat Hammad akan mimpinya malam tadi, lalu dikabarkan kepada muridnya itu. Abu Hanifah mendengarnya dengan penuh khusyuk.
“… Aku bermimpi ada sebuah dusun yang amat luas lagi indah. Di sana kulihat ada sebatang pohon  yang rindanng dan lebat buahnya. Tiba-tiba, di situ keluar seekor babi dari ujung desa. Lalu babi itu  memakan habis buah yang masak nan ranum dari pohon itu. Hingga ke daun dan dahan-dahannya habis dikunyah.Yang tinggal cuma batangnya sahaja.Dalam pada itu juga keluar seekor harimau dari umbi pohon rindang tadi lalu menerkam babi itu dengan gigi dan kukunya yang tajam.Lalu, babi tadi mati
disitu juga . “
Hammad termenung seketika. Kekalutan pikiran yang telah dicetuskan Dahri, yang bisa menggeser pegangan aqidah umat ini, tidak bisa di biarkan. Harus dihapus segera. Wajahnya yang tenang bagai air sungai yang mengalir jernih, masih nampak bercahaya walau di saat begitu genting. Satu kelebihan Abu Hanifah adalah beliau juga dikaruniai Allah ilmu menta’bir mimpi, sebagai mana nabi Allah Yusuf. Pada pengamatannya juga, mimpi tersebut akan memberi pertanda baik bahwa si Dahri pasti akan menerima akibatnya nanti. Dan setelah mendapat izin gurunya, dia pun mencoba mentafsirnya:
“Apa yang tuan lihat dalam mimpi tuan sebagai dusun yang luas lagi indah itu adalah tamsilan kepada agama Islam kita. Pokok yang berbuah lebat itu adalah tamsilan kepada sekalian ulamanya. Sedangkan sepohon kayu yang masih tinggal itu adalah tuan sendiri. Dan babi yang tiba-tiba muncul dan merusak pohon tersebut adalah si Dahri. Sedangkan harimau yang keluar lalu membunuh babi tadi … adalah saya … “jelas Abu Hanifah.
Ia juga meminta izin untuk membantu gurunya menghadapi si Dahri. Betapa gembiranya hati Iman Hammad bila aksi hasrat itu dari hati muridnya sendiri. Maka berngkatlah ilmuwan yang masih remaj itu bersama gurunya untuk pergi ke Masjid Jami’ di mana acara dialog akan diadakan yang dihadiri oleh orang banyak dan Khalifah. Seperti biasanya, sebelum menyampaikan dakwahnya, Dahri akan menantang dan memperleceh-lecehkan ulama dengan bersuara lantang dari atas pentas.
“Hai Dahri, apalah yang digusarkan. Orang yang mengetahuinya pasti menjawabnya!” Tiba-tiba suara Abu Hanifah mengejutkan Dahri dan menyentakkan kaum Muslimin yang hadir. Dahri sendiri terkejut. Matanya memandang tajam mata Abu Hanifah.
“Siapa kamu hai anak muda? Berani sungguh menyahut tantanganku … Sedangkan ulama yang hebat-hebat, yang bersurban dan berjubah  telah ku kalahkan …!” Volume suara Dahri membalas Abu Hanifah.
“Wahai Dahri,” balas Abu Hanifah, “sesungguhnya Allah tidak melimpahkan kemuliaaan dan kebesaran itu pada sorban atau jubah yang di pakai. Tetapi Allah menganugerahkan kemuliaan kepada orang-orang yang berilmu dan bertaqwa.” Abu Hanifah lalu membacakan sebuah firman Allah SWT yang artinya:
“Allah telah meninggikan derajat orang beriman dan berimul antara kamu beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)
Geram rasanya hati Dahri mendengarnya kelincahan  lidah pemuda ini mendebat. Maka berlangsunglah  acara yang sangat mendebarkan  yaitu dialog perdebatan antara Abu Hanifah dengan tokoh Ad-dahriayyah, yang terkenal dengan pemikiran materialis dan ateisnya itu, (yang tidak percaya adanya tuhan ).
Setelah mc selesai mengatur acara, di mulailah perdebatan itu....
“Benarkah Allah itu ada?,” Soal Dahri memulai acara dialog.
“Bahkan jelas  Allah memang ada,” tegas Abu Hanifah.
“Kalau Allah maujud (ada), di mana tempatnya ..??” Suara Dahri semakin meninggi.
“Allah tetap ada tetapi dia tidak bertempat!” jelas Abu Hanifah.
“Heran, kau katakan  Allah itu ada, tetapi tidak bertempat pula …?” bantah Dahri sambil melemparkan senyuman sinisnya kepada hadirin.
“Ah, itu bisa saja wahai Dahri. Coba kau lihat pada dirimu sendiri. Bukankah pada dirimu itu ada nyawa …” Abu Hanifah mulai mendebat. Orang-orang mulai memperhatikan gaya ilmuwan muda ini berpidato dengan penuh minat.
“Bahkan, memang aku punya nyawa, dan memang setiap makhluk yang bernafas itu ada nyawa …!” sahut Dahri.
Imam Abu Hanifah  “Tetapi apakah kau tahu di mana letaknya nyawa atau rohmu itu …? Dikepalakah, diperutkah atau apakah di ujung kakimu ..?” Tersentak Dahri seketika. Orang-orang mulai berbisik-bisik di antara mereka. Setelah itu Abu Hanifah mengambil segelas susu lalu ditampilkan pada Dahri, seraya berkata: “Apakah dalam air susu ini ada kandungan lemak …?”
Cepat Dahri menjawab, “Ya, jelas!”
Imam Abu Hanifah bertanya lagi, “Kalau begitu dimanakah lemak itu berada …? Di bagian ataskah atau dibawahkah …?” Sekali lagi Dahri tersentak, tidak mampu menjawab pertanyaan Imam Abu Hanifah  yang sopan itu. “Untuk mencari dimanakah beradanya roh dalam jasad dan tersisip dimanakah  lemak dalam air susu ini pun kita tidak mampu, bagaiman pula kita dapat menjangkau dimanakah beradanya Zat Allah SWT di alam raya ini? Zat yang telah menciptakan dan mengatur seluruh alam ini termasuk roh dan akal dangkal kita ini, pun ciptaan-Nya, yang tunduk dan patuh di bawah urusan tadbir pemerintah-Nya Yang Maha Agung …! ” Suasana menjadi agak bingar. Dahri terpaku di kursi. Terbungkam lidahnya. Merah mukanya. Kesabarannya mulai terburai. setelah kondisi agak reda, Dahri memberikan pertanyaan.
“Hai anak muda! Apakah yang ada sebelum Allah. Dan apa pula yang muncul setelah Dia nanti …” Semua mata tertuju pada Abu Hanifah, murid Imam Hammad yang pintar ini.
“Wahai Dahri! Tidak ada suatu pun yang ada sebelum Allah Taala dan tidak ada sesuatu pun yang akan muncul setelah-Nya. Allah SWT tetap Qadim dan Azali. Dialah yanng Awal dan Dialah yang Akhir”, tegas Abu Hanifah, singkat tapi padat.
“Pelik sungguh! Mana mungkin begitu …. Tuhan Wujud tanpa ada permulaan Nya? Dan mana mungkin Dia pula yang terakhir tanpa ada lagi yang setelah Nya ….?” Dahri mencoba berdalih dengan pikiran logika.
Dengan tersenyum Abu Hanifah menjelaskan, “Ya! Dalilnya ada pada diri kamu sendiri. Coba kau lihat pada ibu jari mu itu. Jari apakah yang kau nampak berada sebelum jari ini ..?” Sambil menuding ibu jarinya ke langit. Dan beberapa hadirin juga melakukan hal. “Dan pada jari manis kau itu, ada lagikah jari yang berikutnya …” Dahri membalik-balik jarinya. Tidak terpikir olehnya, persoalan yang sekecil itu yang disampaikan  oleh Abu Hanifah. “Jadi …! Kalaulah pada jari kita yang kecil ini pun, tidak mampu kita pikir, apalagi Allah Zat Yang Maha Agung itu, yang tidak satu pun yang mendahului-Nya dan tiada sesuatu yang kemudian setelah-Nya.”
Sekali lagi Dahri tercengang. Bungkam. Namun masih tidak berputus asa untuk mematahkan argumen anak muda yang telah memalukannya di muka umum. Khalifah kagum melihatnya gelagat Dahri dengan penuh tanda tanya. Dahri berpikir seketika, menemukan jalan, mencari ide. Seperti suatu ilham baru telah menyuntik otaknya, iapun tersenyum. Hati Dahri bergejolak bagai air tengah mendidih.
“Ini pertanyaan yang terakhir buat mu, hai .. anak mentah!” Sengaja Dahri mengeraskan suaranya agar bisa menutupi rasa malunya.
“Allah itu ada, kata mu. Ha! Apakah pekerjaan Tuhan mu saat ini?” Pertanyaan tersebut membuat Abu Hanifah tersenyum riang.
“Ini pertanyaan yang sungguh menarik. Jadi harusnya saya jawab dari tempat yang tinggi agar dapat didengar oleh semua orang,” katanya. Maka Abu Hanifah itu mempersilahkan dahri turun dari mimbar, maka dahripun berjalan turun meninggalkan mimbar masjid Jami’, memberi tempat untuk Abu Hanifah:
“Wahai sekelian manusia. Ketahuilah bahwa kerja Allah ketika ini adalah menggugurkan yang bathil sebagaimana Dahri yang berada di atas mimbar, diturunkan Allah ke bawah mimbar. Dan Allah juga telah menaikkan yang hak sebagaimana aku, yang berada di bawah sana , telah dinaikkan ke atas mimbar Masjid Jami’ ini …! “
Bagai halilintar, argumen Abu Hanifah menerjang ke dua-dua pipi Dahri. Seiring dengan itu bergemalah pekikan takbir dari massa yang membludak memenuhi masjid jami’  “Allahu akbar, Allahu akbar...!!” pekik mereka..
Mereka memuji-muji kewibawaan Abu Hanifah yang telah berhasil menyelamatkan martabat Islam dari lidah Dahri yang sesat lagi menyesatkan itu. Sampai saat ini, nama Imam Abu Hanifah terus dikenal keseluruh dunia sebagai seorang Fuqaha dan salah seorang dari Imam Mujtahid Mutlaq yang empat. Kemunculan Mazhab Hanafi dalam fiqh Syar’iyyah, juga mengambil dari kebesaran  nama ulama ini.

SUMBER : KITAB FATHUL MAJID



Tidak ada komentar: