“Pada suatu hari, kota Baghdad kedatangan seorang pendakwah (rahib) Yahudi bernama
Dahri. Kedatangannya memicu kegemparan di kalangan umat Islam. Dahri
mencoba merusak pegangan umat Islam dengan membahas soal-soal yang berhubungan
dengan ketuhanan. Ditantangnya para
ulama Baghdad untuk berdebat dengannya.
Setiap kali
tantangannya disahut, argumen-argumen Dahri tidak pernah dapat dipatahkan
sehingga akhirnya tidak ada lagi ulama Baghdad dan ulama-ulama disekitarnya
yang sanggup berhadapan dengannya. Dari kejadian ini, tahulah Khalifah bahwa Baghdad sudah kehabisan ulama yang benar-benar kredibel dan tinggi
ketaqwaannya.
Lalu Khalifah
memerintahkan beberapa orang menteri meninjau ke daerah lain, kalau-kalau masih
ada ulama yang bisa dibawa menghadapi Dahri. Figur wakil Khalifah menemui Imam Hammad
bin Abi Sulaimann Al-Asy ari, seorang ulama yang tidak kurang juga
ketokohannya.
Khalifah
memerintahkan hari perdebatan antara Imam Hammad dan Dahri disegerakan. Dan
acara bersejarah itu harus dibuat di masjid jami’ di
tengah-tengah kota Baghdad. Sehari sebelum pertemuan itu , Masjid Jami’ telah
penuh sesak dengan orang banyak. Masing-masng menaruh harapan agar Imam Hammad
berhasil menumbangkan Dahri karena beliaulah satu-satunya ulama yang
diharapkan.
“Subhanallah ….
Subhanallah …. Walauhaulawala quwwata illa billahi aliyyil azim ….!” Lidah Imam
Hammad terus melafalkan kalimat mensucikan segala segala perkara yang
tidak layak untuk Zat yang Maha Agung. Dia beristighfar terus. Rasanya sudah tidak sanggup telinganya menadah bermacam ejekan yang
dilemparkan oleh Dahri yang biadab dan matrialis itu. Memperdebatkan keesaan Allah SWT bukanlah hal
kecil dalam Islam. Ini kasus berat! Hatinya cukup pedih. Roh ketauhidannya
bergelora. Mau rasanya memenggal leher si Dahri yang angkuh itu di depan
ribuan mata yang turut hadir dalam acara iru.
Keesokannya,
pagi-pagi lagi muncul Abu
Hanifah, murid Imam Hammad yang paling dekat dan
paling disayanginya. Namanya yang sebenarnya adalah Nu ‘man, yang ketika itu
usiannya masih remaja. Ketika melihat kondisi gurunya itu, Abu Hanifah pun
bertanya untuk mendapat kepastian. Lalu Imam Hammad menceritakan keadaan yang
sebenarnya. Dalam pada itu teringat Hammad akan mimpinya malam tadi, lalu
dikabarkan kepada muridnya itu. Abu Hanifah mendengarnya dengan penuh khusyuk.
“… Aku bermimpi ada
sebuah dusun yang amat luas lagi indah. Di sana kulihat ada sebatang pohon yang rindanng dan lebat buahnya. Tiba-tiba, di situ
keluar seekor babi dari ujung desa. Lalu babi itu memakan habis buah yang masak nan ranum dari pohon itu. Hingga ke daun dan
dahan-dahannya habis dikunyah.Yang
tinggal cuma batangnya sahaja.Dalam pada itu juga keluar seekor harimau dari
umbi pohon rindang tadi lalu menerkam babi itu dengan gigi dan kukunya yang
tajam.Lalu, babi tadi mati
disitu juga . “
Hammad termenung
seketika. Kekalutan pikiran yang telah dicetuskan Dahri, yang bisa menggeser
pegangan aqidah umat ini, tidak bisa di biarkan. Harus dihapus segera. Wajahnya
yang tenang bagai air sungai yang mengalir jernih, masih nampak bercahaya walau
di saat begitu genting. Satu kelebihan Abu Hanifah adalah beliau juga
dikaruniai Allah ilmu menta’bir mimpi, sebagai mana nabi Allah Yusuf. Pada
pengamatannya juga, mimpi tersebut akan memberi pertanda baik bahwa si Dahri
pasti akan menerima akibatnya nanti. Dan setelah mendapat izin gurunya, dia pun
mencoba mentafsirnya:
“Apa yang tuan lihat
dalam mimpi tuan sebagai dusun yang luas lagi indah itu adalah tamsilan kepada
agama Islam kita. Pokok yang berbuah lebat itu adalah tamsilan kepada sekalian
ulama’ nya. Sedangkan
sepohon kayu yang masih tinggal itu adalah tuan sendiri. Dan babi yang
tiba-tiba muncul dan merusak pohon tersebut adalah si Dahri. Sedangkan harimau
yang keluar lalu membunuh babi tadi … adalah saya … “jelas Abu Hanifah.
Ia juga meminta izin
untuk membantu gurunya menghadapi si Dahri. Betapa gembiranya hati Iman Hammad
bila aksi hasrat itu dari hati muridnya sendiri. Maka berngkatlah ilmuwan yang masih remaj itu bersama gurunya untuk pergi ke Masjid
Jami’ di mana acara
dialog akan diadakan yang dihadiri oleh orang banyak dan Khalifah. Seperti biasanya,
sebelum menyampaikan dakwahnya,
Dahri akan menantang dan memperleceh-lecehkan ulama dengan bersuara lantang
dari atas pentas.
“Hai Dahri, apalah
yang digusarkan. Orang yang mengetahuinya pasti menjawabnya!” Tiba-tiba suara
Abu Hanifah mengejutkan Dahri dan menyentakkan kaum Muslimin yang hadir. Dahri
sendiri terkejut. Matanya memandang tajam mata Abu Hanifah.
“Siapa kamu hai anak
muda? Berani sungguh menyahut tantanganku …
Sedangkan ulama yang hebat-hebat, yang bersurban dan berjubah telah ku kalahkan …!” Volume suara Dahri membalas Abu Hanifah.
“Wahai Dahri,” balas
Abu Hanifah, “sesungguhnya Allah tidak melimpahkan kemuliaaan dan kebesaran itu
pada sorban atau jubah yang di pakai. Tetapi
Allah menganugerahkan kemuliaan kepada orang-orang yang berilmu dan bertaqwa.”
Abu Hanifah lalu membacakan sebuah firman Allah SWT yang artinya:
“Allah telah
meninggikan derajat orang beriman dan berimul antara kamu beberapa derajat.”
(Al-Mujadalah: 11)
Geram rasanya hati
Dahri mendengarnya kelincahan lidah pemuda ini mendebat. Maka berlangsunglah acara yang sangat
mendebarkan yaitu dialog perdebatan antara Abu Hanifah dengan
tokoh Ad-dahriayyah, yang terkenal dengan pemikiran materialis dan ateisnya itu, (yang tidak percaya adanya tuhan ).
Setelah mc selesai mengatur
acara, di mulailah perdebatan itu....
“Bahkan jelas Allah
memang ada,” tegas Abu Hanifah.
“Kalau Allah maujud
(ada), di mana tempatnya ..??” Suara Dahri semakin meninggi.
“Allah tetap ada
tetapi dia tidak bertempat!” jelas Abu Hanifah.
“Heran, kau katakan Allah
itu ada, tetapi tidak bertempat pula …?” bantah Dahri sambil melemparkan
senyuman sinisnya kepada hadirin.
“Ah, itu bisa saja wahai Dahri. Coba kau lihat pada dirimu
sendiri. Bukankah pada dirimu itu ada nyawa …” Abu Hanifah mulai mendebat.
Orang-orang mulai memperhatikan gaya ilmuwan muda ini berpidato dengan penuh
minat.
“Bahkan, memang aku punya nyawa, dan memang setiap makhluk yang bernafas
itu ada nyawa …!” sahut Dahri.
Imam Abu
Hanifah “Tetapi apakah kau
tahu di mana letaknya nyawa atau rohmu itu …? Dikepalakah, diperutkah atau
apakah di ujung kakimu
..?” Tersentak Dahri seketika. Orang-orang mulai berbisik-bisik di antara
mereka. Setelah itu Abu Hanifah mengambil segelas susu lalu ditampilkan pada
Dahri, seraya berkata: “Apakah dalam air susu ini ada kandungan lemak …?”
Cepat Dahri
menjawab, “Ya, jelas!”
Imam Abu
Hanifah bertanya lagi, “Kalau begitu dimanakah lemak itu berada …? Di bagian
ataskah atau dibawahkah …?” Sekali lagi Dahri tersentak, tidak mampu menjawab
pertanyaan Imam Abu Hanifah yang sopan itu. “Untuk mencari dimanakah
beradanya roh dalam jasad dan tersisip dimanakah lemak dalam air susu ini pun kita tidak mampu, bagaiman pula kita
dapat menjangkau dimanakah beradanya Zat Allah SWT di alam raya ini? Zat yang telah menciptakan dan mengatur
seluruh alam ini termasuk roh dan akal dangkal kita ini, pun ciptaan-Nya, yang
tunduk dan patuh di bawah urusan tadbir pemerintah-Nya Yang Maha Agung …! ”
Suasana menjadi agak bingar. Dahri terpaku di kursi. Terbungkam lidahnya. Merah
mukanya. Kesabarannya mulai terburai. setelah kondisi
agak reda, Dahri memberikan
pertanyaan.
“Hai anak muda!
Apakah yang ada sebelum Allah. Dan apa pula yang muncul setelah Dia nanti …”
Semua mata tertuju pada Abu Hanifah, murid Imam Hammad yang pintar ini.
“Wahai Dahri! Tidak
ada suatu pun yang ada sebelum Allah Taala dan tidak ada sesuatu pun yang akan
muncul setelah-Nya. Allah SWT tetap Qadim dan Azali. Dialah yanng Awal dan
Dialah yang Akhir”, tegas Abu Hanifah, singkat tapi padat.
“Pelik sungguh! Mana
mungkin begitu …. Tuhan Wujud tanpa ada permulaan Nya? Dan mana mungkin Dia
pula yang terakhir tanpa ada lagi yang setelah Nya ….?” Dahri mencoba berdalih
dengan pikiran logika.
Dengan tersenyum Abu
Hanifah menjelaskan, “Ya! Dalilnya ada pada diri kamu sendiri. Coba kau lihat
pada ibu jari mu itu. Jari apakah yang kau nampak berada sebelum jari ini ..?”
Sambil menuding ibu jarinya ke langit. Dan beberapa hadirin juga melakukan hal.
“Dan pada jari manis kau itu, ada lagikah jari yang berikutnya …” Dahri
membalik-balik jarinya. Tidak terpikir olehnya, persoalan yang sekecil itu yang disampaikan oleh Abu Hanifah. “Jadi …! Kalaulah pada jari
kita yang kecil ini pun, tidak mampu kita pikir, apalagi Allah Zat Yang Maha
Agung itu, yang tidak satu pun yang mendahului-Nya dan tiada sesuatu yang
kemudian setelah-Nya.”
Sekali lagi Dahri
tercengang. Bungkam. Namun masih tidak berputus asa untuk mematahkan argumen
anak muda yang telah memalukannya di muka umum. Khalifah kagum melihatnya
gelagat Dahri dengan penuh tanda tanya. Dahri berpikir seketika, menemukan
jalan, mencari ide. Seperti suatu ilham baru telah menyuntik otaknya, iapun tersenyum. Hati Dahri bergejolak bagai air tengah mendidih.
“Ini pertanyaan yang
terakhir buat mu, hai .. anak mentah!”
Sengaja Dahri mengeraskan suaranya agar bisa menutupi rasa
malunya.
“Allah itu ada, kata
mu. Ha! Apakah pekerjaan Tuhan mu saat ini?” Pertanyaan tersebut membuat Abu
Hanifah tersenyum riang.
“Ini pertanyaan yang
sungguh menarik. Jadi harusnya saya jawab
dari tempat yang tinggi agar dapat didengar oleh semua orang,” katanya. Maka Abu Hanifah itu
mempersilahkan dahri turun dari mimbar, maka dahripun berjalan turun meninggalkan
mimbar masjid Jami’, memberi tempat untuk Abu Hanifah:
“Wahai sekelian
manusia. Ketahuilah bahwa kerja Allah ketika ini adalah menggugurkan yang
bathil sebagaimana Dahri yang berada di atas mimbar, diturunkan Allah ke bawah
mimbar. Dan Allah juga telah menaikkan yang hak sebagaimana aku, yang berada di
bawah sana , telah dinaikkan ke
atas mimbar Masjid Jami’ ini …! “
Bagai halilintar,
argumen Abu Hanifah menerjang ke dua-dua pipi Dahri. Seiring dengan itu bergemalah
pekikan takbir dari massa yang membludak
memenuhi masjid jami’ “Allahu akbar,
Allahu akbar...!!” pekik mereka..
Mereka memuji-muji
kewibawaan Abu Hanifah yang telah berhasil menyelamatkan martabat Islam dari lidah
Dahri yang sesat lagi menyesatkan itu. Sampai saat ini, nama Imam Abu Hanifah
terus dikenal keseluruh dunia
sebagai seorang Fuqaha dan salah seorang dari Imam Mujtahid Mutlaq yang empat. Kemunculan Mazhab Hanafi dalam fiqh
Syar’iyyah, juga mengambil dari kebesaran nama ulama ini.
SUMBER : KITAB FATHUL MAJID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar