***** awal kutipan
*****
Bukan Salaf Tetapi
Dzahiri
Sebenarnya kalau kita
perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf,
sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau
dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada
mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan
nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunakan
metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah
mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus,
mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah
dihapus dengan adanya nash yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai
dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam'i) bila
ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak
bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat
keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih,
tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari
lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat
fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa
hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh
bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik
haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua
terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya,
yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits,
setelah itu belajar ilmu ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan
istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba
bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan
*****
Ustadz Ahmad Sarwat
mencontohkan metodologi istinbath mereka salah satunya adalah dalam mengambil
metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam'i) bila ada dalil-dalil
yang sama shahihnya, tetapi secara dzahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka
semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut
mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka
kalah shahih pun dibuang.
Contoh ulama panutan mereka
ulama Albani mengenai hadits "hati" dalam mengkritisi al-Imam an-Nawawi dalam
kitab Riyadhus Shalihin berkata : "Imam Muslim dan yang lainnya menambahkan
dalam riwayatnya
“Wa
a’malikum”
(dan amalan-amalan kalian)
sebagaimana
dikeluarkan dalam “Ghayatul Marom fi takhrijil Halal wal Haram (410)”Tambahan
ini penting sekali karena kebanyakan manusia memahami hadits dengan faham yang
salah, kalau seandainya engkau
perintahkan seseorang dengan sesuatu yang telah diperintahkan syara’ yang penuh
hikmah seperti memanjangkan jenggot dan meninggalkan tasyabuh (penyerupaan)
terhadap orang kafir serta yang semisalnya dari beban-beban syariah, maka mereka
menjawab bahwa yang menjadi pegangan adalah apa yang ada di hati, mereka
beralasan dengan hadits ini tanpa mengetahui tambahan hadits shahih yang
menunjukan bahwa Allah Tabaroka wa Ta’ala juga melihat kepada amalan-amalan
mereka, apabila amalan-amalan itu shalihah maka diterimalah dan apabila tidak
maka tertolaklah atas mereka"
atau perkataan mereka yang
lain mengikuti ulama panutan mereka : "Di sinilah salah satu kesalahan fatal
al-Imam an-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin, seharusnya beliau rahimahullah
memakai riwayat yang lebih sempurna tadi agar ahlul irja' yang hidup sesudah
beliau, yang membatasi iman hanya di dalam hati, tidak tertipu oleh riwayat yang
pertama. Dan rupanya kesilapan Imam an-Nawawi tidak hanya di situ, sebab beliau
rahimahullah meletakkan tambahan kata "a'malikum" pada tempat yang salah yakni
pada hadits nomor 1578, pengarang meletakkan tambahan ini setelah kata
"shuwarikum" sehingga haditsnya berbunyi '"...atau wajah kalian dan perbuatan
kalian, akan tetapi Dia memperhatikan hati-hati kalian."
Mereka menyalahkan al-Imam
an-Nawawi berdasarkan pemahaman mereka sendiri secara otodidak
(shahafi).
Kesalahpahaman mereka
terhadap apa yang disampaikan al-Imam an-Nawawi adalah karena mereka bermazhab
dzahiriyah yakni berpegang pada nash secara dzahir/harfiah/literal .
Mereka kurang memperhatikan
asbabul wurud dan kurang memperhatikan makna majaz (kiasan) atau makna tersirat
(makna dibalik yang tertulis) atau kurang memperhatikan ilmu-ilmu yang dharus
dikuasai dalam menggali hukum (istimbath) dari Al Qur'an dan As
Sunnah
Kedua hadits riwayat muslim
tidaklah saling menyalahi
Telah menceritakan kepada
kami 'Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab; Telah menceritakan kepada kami Dawud
yaitu Ibnu Qais dari Abu Sa'id budak 'Amir bin Kuraiz dari Abu Hurairah dia
berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Janganlah kalian
saling mendengki, saling memfitnah, saling membenci, dan saling memusuhi.
Janganlah ada seseorang di antara kalian yang berjual beli sesuatu yang masih
dalam penawaran muslim lainnya dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling
bersaudara. Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara tidak
boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. Takwa itu ada di sini
(Rasulullah menunjuk dadanya), Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali.
Seseorang telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama
muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. hartanya, dan
kehormatannya. Telah menceritakan kepadaku Abu At Thahir Ahmad bin Amru bin Sarh
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab dari Usamah yaitu Ibnu Zaid Bahwa dia
mendengar Abu Sa'id -budak- dari Abdullah bin Amir bin Kuraiz berkata; aku
mendengar Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: -kemudian perawi menyebutkan Hadits yang serupa dengan Hadits Daud,
dengan sedikit penambahan dan pengurangan. Diantara tambahannya adalah;
Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh dan rupa kalian, akan tetapi Allah
melihat kepada hati kalian. (seraya mengisyaratkan telunjuknya ke dada beliau).
(HR Muslim 4650).
Telah menceritakan kepada
kami 'Amru An Naqid; Telah menceritakan kepada kami Katsir bin Hisyam; Telah
menceritakan kepada kami Ja'far bin Burqan dari Yazid bin Al Asham dari Abu
Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah
melihat kepada hati dan amal kalian." (HR Muslim 4651).
(HR Muslim 4650)
menjelaskan janganlah saling menghina , janganlah saling menilai terhadap apa
yang tampak di luar, janganlah berprasangka buruk terhadap apa yang tampak di
luar karena Allah melihat kepada hati.
Sedangkan (HR Muslim 4651)
kata kuncinya adalah "harta kalian" yang maknanya adalah kekayaan (secara
dzahir) termasuk ilmu yang dimiliki dan apa yang telah dilakukan namun hatinya
lalai seperti melakukan amal perbuatan yang didasari riya, sombong, ujub . Jadi
pasangannya adalah "rupa (apa yang tampak secara dzahir) dengan hati , "harta
kalian (termasuk ilmu) dengan amal kalian (yang dilakukan dengan hati yang
baik)".
Jadi memiliki rupa
(penampilan) dan harta (termasuk ilmu) tidak berarti tanpa amal dan memiliki
amal tidak berarti tanpa amal yang dilakukan dengan hati yang baik.
Jadi janganlah mengikuti
atau meneladani orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah at Tamim an Najdi yakni
orang-orang menampakkan ke-sholeh-an di hadapan orang banyak dalam bentuk
tanda-tanda atau bekas ibadah sunnahnya namun berakhlak buruk seperti
1. Suka mencela dan
mengkafirkan kaum muslim
2. Merasa paling benar
dalam beribadah.
3. Berburuk sangka kepada
kaum muslim
4. Sangat keras kepada kaum
muslim bahkan membunuh kaum muslim namun lemah lembut kepada kaum
Yahudi
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Dari kelompok orang ini, akan muncul
nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati
kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan
para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur
dari busurnya“. (HR Muslim 1762)
Sabda Rasululullah yang
artinya "mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah
berhala" maksudnya mereka memahami Al Qur'an dan Hadits dan berkesimpulan kaum
muslim lainnya telah musyrik (menyembah selain Allah) sehingga membunuhnya namun
dengan pemahaman mereka tersebut mereka membiarkan para penyembah berhala yang
sudah jelas kemusyrikannya. Penyembah berhala adalah kaum Yahudi yang sekarang
dikenal sebagai kaum Zionis Yahudi atau disebut juga dengan freemason,
iluminati, lucifier yakni kaum yang meneruskan keyakinan pagan (paganisme) atau
penyembah berhala.
Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang
membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang
diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya,
seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). Dan mereka
mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan
mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak
kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir
(mengerjakan sihir).” (QS Al Baqarah [2]:101-102).
Dalam syarah Shahih Muslim,
Jilid. 17, No.171 diriwayatkan Khalid bin Walīd ra bertanya kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah at
Tamimi an Najdi dengan pertanyaan.
“Wahai Rasulullah, orang
ini memiliki semua bekas dari ibadah-ibadah sunnahnya: matanya merah karena
banyak menangis, wajahnya memiliki dua garis di atas pipinya bekas airmata yang
selalu mengalir, kakinya bengkak karena lama berdiri sepanjang malam (tahajjud)
dan janggut mereka pun lebat”
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam menjawab : camkan makna ayat ini : qul in’kuntum tuhib’būnallāh
fattabi’unī – Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. karena Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.
Khalid bin Walid bertanya,
“Bagaimana caranya ya Rasulullah ? ”.
Nabi shallallahu alaihi
wasallam menjawab, “Jadilah orang yang ramah seperti aku, bersikaplah penuh
kasih, cintai orang-orang miskin dan papa, bersikaplah lemah-lembut, penuh
perhatian dan cintai saudara-saudaramu dan jadilah pelindung bagi
mereka.”
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam menegaskan bahwa ketaatan yang dilakukan oleh orang-orang
seperti Dzul Khuwaisarah at Tamimi an Najdi tidaklah cukup jika tidak
menimbulkan ke-sholeh-an seperti bersikap ramah, penuh kasih, mencintai
orang-orang miskin dan papa, lemah lembut penuh perhatian dan mencintai saudara
muslim dan menjadi pelindung bagi mereka.
Indikator atau ciri-ciri
atau tanda-tanda orang yang mencintai Allah dan dicintai oleh Allah
adalah
1. Bersikap lemah lembut
terhadap sesama muslim
2. Bersikap keras (tegas /
berpendirian) terhadap orang-orang kafir
3. Berjihad di jalan Allah,
bergembira dalam menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya
4. Tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela
Firman Allah ta’ala yang
artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad
dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang
yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad
dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah
[5]:54).
Orang-orang seperti Dzul
Khuwaishirah At Tamim An Najdi dipanggil oleh Rasulullah sebagai “orang-orang
muda” yakni mereka suka berdalil atau berfatwa dengan Al Qur’an dan Hadits namun
salah paham.
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda “Akan keluar suatu kaum akhir jaman, orang-orang muda
yang pemahamannya sering salah paham. Mereka banyak mengucapkan perkataan
“Khairil Bariyyah” (maksudnya: suka berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits). Iman
mereka tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana
meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa denganmu
perangilah mereka (luruskan pemahaman mereka).” (Hadits Sahih riwayat Imam
Bukhari 3342).
“Orang-orang muda” adalah
kalimat majaz yang maknanya orang-orang yang kurang berpengalaman atau kurang
berkompetensi dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Ulama seperti Dzul
Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi atau kaum khawarij dalam berdakwah suka
menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir untuk menyerang
kaum muslim
Abdullah bin Umar ra dalam
mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang
diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang
orang-orang beriman”.[Lihat: kitab Sahih Bukhari jilid:4
halaman:197].
Ulama seperti Dzul
Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi adalah mereka yang bertambah ilmunya namun
semakin jauh dari Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak
bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan
bertambah jauh“.
Ilmu harus dikawal hidayah.
Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari
Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah
(karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat
sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat
menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan
oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk,
semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak
sombong.
Seorang lelaki bertanya
pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling
baik ?”.
“Ketika orang lain tidak
(terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu
aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya,
dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad).
Sayyidina Umar ra
menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara /
bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti
orang lain dengan tangan dan lidahnya“.
Sayyidina Umar ra juga
menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya
belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang
lain; wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak
mulia dalam bermasyarkat (bergaul)“.
Rasulullah bersabda:
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih,
HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud).
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat
sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan
meremehkan manusia” (HR. Muslim).
Dalam sebuah hadits qudsi ,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan
adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari
Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah
selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR
Muslim).
Para ulama tasawuf atau
kaum sufi mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa
hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu
formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah,
sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab
terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya
melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat
dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan
Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Orang-orang seperti Dzul
Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi, mereka menyempal keluar (kharaja) dari
mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang disebut juga dengan khawarij.
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya
yang keluar.
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas
kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan,
maka ia menyeleweng ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar
rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari
rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah
adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“.
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada
kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka
ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah
bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi
dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih).
Ibnu Mas’ud radhiallahuanhu
mewasiatkan yang artinya: ”Al-Jama’ah adalah sesuatu yang menetapi al-haq
walaupun engkau seorang diri” Maksudnya tetaplah mengikuti Al-Jamaah atau
as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim) walaupun tinggal seorang diri di
suatu tempat yang terpisah. Hindarilah firqoh atau sekte yakni orang-orang yang
mengikuti pemahaman seorang ulama yang telah keluar (kharaja) dari pemahaman
mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham).
Dari Ibnu Sirin dari Abi
Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika
‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama’ah, karena Allah tidak akan
mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan
dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia
berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu
firqah/sekte. Hindarilah semua firqah/sekte itu jika kalian mampu untuk
menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
Mereka menyempal keluar
(kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) salah satunya
dikarenakan salah memahami firman Allah ta’ala yang artinya “Dan jika kamu
menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS Al An’aam
[6]:116).
Yang dimaksud “menuruti
kebanyakan orang-orang yang di muka bumi” adalah menuruti kaum musyrik. Hal ini
dapat kita ketahui dengan memperhatikan ayat-ayat sebelumnya pada surat
tersebut.
Mereka menyempal keluar
(kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) karena mereka merasa
sebagai yang dimaksud dengan Al Ghuroba atau orang-orang yang asing sebagaimana
hadits berikut :
Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar semuanya dari Marwan al-Fazari, Ibnu
Abbad berkata, telah menceritakan kepada kami Marwan dari Yazid -yaitu Ibnu
Kaisan- dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan
kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.” (HR
Muslim 208).
Ghuroba atau "orang-orang
yang terasing" dalam hadits tersebut bukanlah mereka yang mengasingkan diri dari
para ulama yang sholeh atau mereka yang menyempal dari mayoritas kaum muslim
(as-sawadul a’zham).
Hal yang dimaksud dengan
ghuroba adalah semakin sedikit kaum muslim yang sholeh diantara mayoritas kaum
muslim (as-sawad al a’zham).
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam besabda “Orang yang asing, orang-orang yang berbuat kebajikan
ketika manusia rusak atau orang-orang shalih di antara banyaknya orang yang
buruk, orang yang menyelisihinya lebih banyak dari yang mentaatinya”. (HR.
Ahmad).
Dari Abu Hurairah,
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Islam itu pada mulanya datang dengan asing dan
akan kembali dengan asing lagi seperti pada mulanya datang. Maka berbahagialah
bagi orang-orang yang asing”. Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah
orang-orang yang asing itu ?”. Beliau bersabda, “Mereka yang memperbaiki dikala
rusaknya manusia”. [HR. Ibnu Majah dan Thabrani].
Pada akhir zaman salah satu
tandanya adalah semakin sulit ditemukan muslim yang sholeh
Dari Ummul Mukminin Zainab
binti Jahsy (isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), beliau berkata:”
(Pada suatu hari) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke dalam
rumahnya dengan keadaan cemas sambil bersabda, “La ilaha illallah, celaka
(binasa) bangsa Arab dari kejahatan (malapetaka) yang sudah hampir menimpa
mereka. Pada hari ini telah terbuka bagian dinding Ya’juj dan Ma’juj seperti
ini”, dan Baginda menemukan ujung ibu jari dengan ujung jari yang sebelahnya
(jari telunjuk) yang dengan itu mengisyaratkan seperti bulatan. Saya (Zainab
binti Jahsy) lalu bertanya, Ya Rasulullah! Apakah kami akan binasa, sedangkan di
kalangan kami masih ada orang-orang yang shaleh?” Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda, Ya, jikalau kejahatan sudah terlalu banyak.” (HR. Bukhari
dan Muslim).
Mereka menyempal keluar
(kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) karena beranggapan
mayoritas kaum muslim telah rusak.
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ
عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَالَ الرَّجُلُ هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ
أَهْلَكُهُمْ
Telah menceritakan kepada
kami ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab; Telah menceritakan kepada kami Hammad
bin Salamah dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia
berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Demikian juga
diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Yahya dia berkata; Aku membaca Hadits Malik dari Suhail bin Abu Shalih dari
Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: Apabila ada seseorang yang berkata; ‘Celakalah (rusaklah) manusia’,
maka sebenarnya ia sendiri yang lebih celaka (rusak) dari mereka. (HR Muslim
4755).
Mereka menyempal keluar
(kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) karena menuhankan
pendapat (kaum) mereka sendiri (istibdad bir ro’yi) sehingga merasa (kaum)
mereka pasti masuk surga.
Sayyidina Umar ra
menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap
pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas
sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya
pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“.
Wassalam
kutipan dari : Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar