Sejarah Ilmu Nahwu
Salah satu cara untuk mengenal dengan baik sebuah ilmu ialah dengan meninjau sejarahnya ,
perkembang annya,
metode-met ode para pakarnya
dalam merumuskan
prinsip-pr insipnya, membentuk
hukum-huku mnya, dan menggali
kaidah-kai dahnya.
Ilmu nahwu berbeda dari ilmu-ilmu ke-Arab-an yang lain dari sisi bahwa ia mempunyai sejarah
yang cukup unik, dan juga ia mulia atas dasar ketinggian tujuannya yaitu menjaga
otentisita s lisan (bahasa) orang
Arab secara umum dan al-Qur’an secara khusus. Hal ini terutama ketika didapati
banyak penyim-pan gan bahasa yang
kemudian menggugah kesadaran setiap orang Arab yang takut kepada Allah
bahwasa-ny a mereka harus menjaga
al-Qur’an yang tentangnya Allah
berfirman,
”Sesungguh nya Kami telah
menurunkan
Peringatan
(al-Qur’an ) dan
sesungguhn ya Kami pulalah yang
akan menjaganya ”.
Sungguh, ilmu nahwu telah mendapatka n perhatian yang luar
biasa dalam perkembang annya,
sampai-sam pai
dikatakan, "Ilmu nahwu telah
dipelajari dengan giat sampai
terbakar." Yang demkian ini
tentu saja menunjukka n adanya
gerakan-ge rakan ilmiah yang
cemerlang sepanjang perkembang annya, terutama pada saat
orang-oran g Kufah memasuki dunia
studi ilmu
nahwu sebagai rival bagi orang-oran g Bashrah yang selama beberapa saat telah terlebih
dahulu memegang panji ilmu nahwu. Persaingan positif tersebut telah
mengakibat kan berbagai perbaikan
dan pengkajian yang mendalam,
sehingga ilmu
nahwu pun berkembang dengan cepat dan
akhirnya mengalami formasi pada periode yang sangat dini, yang hal itu belum
terjadi pada ilmu-ilmu yang lain.
Dan sungguh sejarah kemanusiaa n telah mencatat hal tersebut melalui mereka yang
telah mengungkap hal yang
menakjubka n ini.
Sementara, apa yang sejauh ini
dipahami oleh orang-oran g Arab
tidaklah sebagaiman a yang
digambarka n di atas, dimana
orang-oran g Arab telah berusaha keras
menyusun ilmu
yang paling mula-mula dari ilmu-ilmu bahasa, yakni ilmu nahwu.
Penyusunan ilmu nahwu
tidaklah sebagaiman a
gambaran-g ambaran negatif yang
telah disebutkan di atas.
Penyusunan tersebut mencakup
definisi istilah-is tilahnya,
pembentuka n
kaidah-kai dahnya, dan penjagaan
terhadap hukum-huku mnya. Semua
ini merupakan hal yang sungguh-su ngguh menakjubka n, yang dilakukan oleh para ahlinya dengan pola
pikir Arab. Mereka telah melakukann ya dengan tekun dan sungguh-su ngguh, meskipun ada sementara kalangan yang karena
pretensi buruk meragukan prestasi dan kemampuan intelektua l mereka dengan mengatakan , ”Sesungguh nya orang-oran g Arab telah berhasil melakukan pekerjaan besar
ini dengan bersandar pada orang lain yakni para ahli tata bahasa lain seperti
India dan sebagainya . Mereka
berargumen tasi bahwa
kebudayaan Yunani -yang
merupakan warisan kebudayaan
India- telah beralih ke Arab melalui orang-oran g Suryani.
Ada pula sekelompok
orang yang ingin bersikap tengah-ten gah diantara dua pendapat yang ada dengan
mengatakan ,
Sesungguhn ya
dasar-dasa r
metodologi yang dengan itu
orang-oran g Arab menyusun Ilmu Nahwu mereka
bukanlah milik orang Arab, namun implementa si pengembang annya merupakan pekerjaan orang Arab. Namun,
agaknya pendapat yang pertama lebih tepat tanpa ada keinginan untuk
melebih-le bihkan dan
membuat-bu at.
Dari sini, dan karena hal ini serta yang lainnya, studi tentang sejarah tata bahasa Arab harus dilakukan dengan teliti, tekun, dan bebas tanpa sikap ekstrim, agar menghasilk an
sebuah disiplin ilmu yang bebas dari bias dan
manipulasi , yang
dipelajari di
ma’had-ma’had dan kampus-kam pus kita, yang banyak mempelajar i bahasa dan tata bahasa Arab. Dengan demikian
pada akhirnya para mahasiswa kita akan mengenal khazanah klasik mereka, meyakini
orisinalit asnya, dan tsiqah
terhadap pemikiran para pendahulu kita yang mana Al-Qur’an telah
membukakan mata mereka terhadap
kebaikan yang banyak dan ilmu yang beragam.
Sebaliknya , mereka pun menjaga
al-Qur’an dari manipulasi
orang-oran g yang sesat,
penakwilan
orang-oran g yang
berpretens i negatif, dan syubhat
yang ditiupkan oleh orang-oran g yang
durjana.
Cikal Bakal Ilmu Nahwu
Hampir semua pakar linguistik Arab bersepakat bahwa gagasan awal yang kemudian
berkembang menjadi Ilmu Nahwu muncul
dari Ali bin Abi Thalib saat beliau menjadi khalifah. Gagasan ini muncul karena
didorong oleh beberapa faktor, antara lain faktor agama dan faktor sosial
budaya. Yang dimaksud faktor agama di sini terutama adalah usaha pemurnian
al-Qur'an dari lahn (salah baca). Sebetulnya , fenomena lahn itu sudah muncul pada
masa Nabi Muhammad masih hidup, tetapi frekuensin ya masih jarang. Dalam sebuah riwayat dikatakan
bahwa ada seorang yang berkata salah (dari segi bahasa) dihadapan Nabi, maka
beliau berkata kepada para sahabat: "Arsyiduu akhaakum fa innahu qad dlalla"
(Bimbingla h teman kalian,
sesungguhn ya ia telah
tersesat). Perkataan
dlalla 'tersesat'
pada hadits tersebut merupakan peringatan yang cukup keras dari Nabi. Kata itu lebih keras
artinya dari akhtha'a 'berbuat salah' atau zalla
'keseleo lidah'. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa salah seorang gubernur pada
pemerintah an Umar bin Khattab menulis
surat kepadanya dan di dalamnya terdapat lahn, maka Umar
membalasny a dengan diberi
kata-kata "qannii kitaabak sawthan" 'berhati-h atilah dalam menulis'. Lahn itu semakin
lama semakin sering terjadi, terutama ketika bahasa Arab telah mulai menyebar ke
negara-neg ara atau
bangsa-ban gsa lain non-Arab.
Pada saat itulah mulai terjadi akulturasi dan proses saling mem-pengar uhi antara bahasa Arab dan
bahasa-bah asa lain. Para penutur
bahasa Arab dari non-Arab seringkali berbuat lahn dalam berbahasa Arab, sehingga hal
itu dikhawatir kan akan terjadi juga
pada waktu mereka membaca al-Qur'an.
Dari sisi sosial budaya, bangsa Arab dikenal mempunyai kebanggaan dan fanatisme yang
tinggi terhadap bahasa yang mereka miliki. Hal ini mendorong mereka berusaha
keras untuk memurni-ka n bahasa
Arab dari pengaruh asing. Kesadaran itu semakin lama semakin
mengkrista l, sehingga tahap demi
tahap mereka mulai memikirkan
langkah-la ngkah pembakuan bahasa
dalam bentuk kaidah-kai dah.
Selanjutny a, dengan prakarsa
Khalifah Ali dan dukungan para tokoh yang mempunyai komitmen terhadap bahasa
Arab dan al-Qur'an, sedikit demi
sedikit disusun kerangka-k erangka teoritis yang kelak kemudian menjadi cikal
bakal pertumbuha n Ilmu Nahwu.
Sebagaiman a terjadi pada ilmu-ilmu lain, Ilmu Nahwu tidak
begitu saja muncul dan langsung sempurna dalam waktu singkat, melainkan
ber-kemban g tahap demi tahap dalam
kurun waktu yang cukup panjang.
Ada cerita yang menarik seputar cikal bakal terbentukn ya ilmu nahwu diantarany a :
Pada jaman Jahiliyyah ,
kebiasaan orang-oran g Arab
ketika mereka berucap atau berkomunik asi dengan orang lain, mereka
melakukann ya dengan tabiat
masing-mas ing, dan
lafazh-laf azh yang muncul,
terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada
senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan
seterusnya . Namun, ketika Islam
datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan orang non Arab, serta terjadi
perdaganga n dan
pendidikan ,
menjadikan Bahasa Arab bercampur baur
dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak
terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang.
Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kai dah yang
disimpulka n dari ucapan orang
Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharaka ti bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang
dibuat untuk menyelamat kan
Bahasa Arab dari kerusakan, yang
disebut dengan ilmu Nahwu. Adapun orang yang pertama
kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad ad-Du'ali dari Bani Kinaanah
atas dasar perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad ad-Du'ali,
bahwasanya ketika ia sedang
ber-jalan- jalan dengan anak
perempuann ya pada malam hari,
sang anak mendongakk an wajahnya
ke langit dan memikirkan tentang
indahnya serta bagusnya bintang-bi ntang. Kemudian ia berkata, (مَا أَحْسَنُ
السَّمَاءِ ) “Apakah yang paling
indah di langit?” Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukka n kalimat tanya. Kemudian sang ayah
mengatakan ,
(نُجُوْمُه َا يَا
بُنَيَّةُ) “Wahai anakku,
Bintang-bi ntangnya”. Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan , (اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّ بَ) “Sesungguh nya aku ingin mengungkap kan kekaguman” . Maka sang ayah mengatakan , kalau begitu ucapkanlah , (مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ ) “Betapa indahnya langit.” Bukan, (مَا اَحْسَنُ
السَّمَاءِ ِ) “Apakah yang paling
indah di langit?” Dengan memfathahk an
hamzah…"
Dikisahkan pula dari
Abul Aswad ad-Du'ali, ketika ia
melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat at-Taubah
ayat 3 dengan ucapan, (أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِك ِينَ وَرَسُولِه ُ), dengan mengkasrah kan huruf lam pada kata rasuulihi yang
seharusnya di dhommah.
Menjadikan artinya
“…Sesunggu hnya Allah berlepas
diri dari orang-oran g musyrik
dan rasulnya.. .” Hal ini
menyebabka n arti dari kalimat
tersebut menjadi rusak dan menyesatka n. Seharusnya kalimat tersebut adalah, (أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ
مِنَ الْمُشْرِك ِينَ
وَرَسُوْلُ هُ)
“Sesungguh nya Allah dan
Rasul-Nya berlepas diri dari orang-oran g musyrikin. ”
Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad ad-Du'ali menjadi ketakutan, ia takut keindahan
Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal
hal tersebut terjadi di awal mula daulah Islam. Kemudian hal ini disadari oleh
khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia mem-perbai ki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab
inna dan saudaranya , bentuk
idhofah (penyandar an), kalimat
ta’ajjub (kekaguman ), kata tanya
dan selainnya, kemudian Ali bin
Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad ad-Duali, (اُنْحُ هَذَا
النَّحْوَ) “Ikutilah jalan ini”. Dari
kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan
ilmu nahwu.
(Arti nahwu secara bahasa adalah arah)
Kemudian Abul Aswad ad-Du'ali melaksana- kan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan
bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang men-cukupi . Kemudian, dari Abul Aswad ad-Duali inilah muncul
ulama-ulam a Bahasa Arab lainnya,
seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian al-Khalil al-Farahid i al-Bashri (peletak ilmu ‘Arudh dan penulis Mu’jam
pertama), sampai ke Sibawaih dan Kisa'i (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam
kaidah Bahasa Arab).
Seiring dengan berjalanny a waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi
dua mazhab, yakni mazhab Bashrah dan Kufy (padahal kedua-duan ya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua
mazhab ini tidak henti-hent inya
tersebar sampai akhirnya mereka membaguska n pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita
sekarang.
Peletak Dasar Ilmu Nahwu
Adalah bangsa Arab dahulu pada masa Jahiliyah mendiami jazirah Arab, yang mana mereka tidak bercampur dengan bangsa-ban gsa 'Ajam (bukan Arab) melainkan hanya terkadang
saja. Dan yang demikian mengakibat kan fasihnya dialek mereka dalam bahasa Arab, dan
kuatnya mereka dalam menerangka n
bahasa Arab, serta jauhnya mereka dari kesalahan berbicara dan
penyimpang an dalam suku Quraisy
menempati kedudukan yang mulia, yang menjadikan bahasa Arab. Dan adalah mereka pemuka bagi
kabilah-ka bilah Arab lainnya.
Suku Quraisy-la h yang
memonopoli pelayanan terhadap
Ka’bah. Dan bangsa Arab pergi menunaikan haji ke Ka’bah setiap tahun untuk tujuan ekonomi,
seperti berdagang, saling tukar
menukar barang dagangan dan juga tujuan-tuj uan kesusaster aan, seperti menyaksika n perkumpula n ahli pidato dan syair di
pasar-pasa r “Ukadz” dan “Majnah” dan
“Dzil Majaz”.
Tempat-tem pat itulah,
tempat dimana para penyair dan ahli pidato dari seluruh penjuru bangsa Arab
bertemu untuk membanggak an
keturunan, berlomba dalam
berpidato, saling bersyair,
serta ber-hukum kepada orang-oran g yang mulia dari kalangan penyair dan ahli
pidato, agar mereka menetapkan
keputusan atau menghukumi
mereka. Dan dari kalangan mereka terdapat seorang hakim yang masyhur yang
bernama “adz-Dziby ani”, yang
mana keputusann ya ditaati dan
tidak ditolak. Dan sungguh suku Quraisy dengan aspek-aspe k pendorong yang diberikan kepada mereka ini,
mampu untuk menjadi suku atau kabilah yang paling bersih dialeknya dan paling
fasih bahasa mereka, serta paling mencukupi penjelasan nya. Maka dialek Quraisy menguasai atas segala
dialek-dia lek bahasa Arab.
Para ahli sastra pun berlomba-l omba mem-pergun akan dialek Quraisy, sehingga
tersebarla h dialek itu diseluruh
penjuru jazirah Arab, dan hal ini adalah yang memperkena nkan diturunkan nya al-Qur’an dengan dialek Quraisy ketika
“bersinar” matahari Islam atas
jazirah Arabiyyah, dan manusia
masuk dalam agama Allah dengan berbondong -bondong, (hal ini) mengharusk an bangsa Arab untuk tersebar di permukaan bumi
serta berhubunga n dengan
manusia, bercampur dengan bangsa selain Arab diseluruh penjuru negeri yang
ditaklukka n oleh kaum muslimin.
Dimana dahulu (kaum muslimin) adalah “Mujahidin ” (pejuang-p ejuang agama) yang mana mereka bergerak dengan
“dakwah yang baru” ke seluruh penjuru alam. Dan sungguh (hal ini)
menimbulka n hubungan erat dengan
penduduk negeri-neg eri (yang
ditaklukka n oleh kaum
muslimin). Dan merekapun saling
tukar-menu kar
barang-bar ang
perdaganga n. Lalu mereka pun
menikahi (penduduk- penduduk
negeri yang ditaklukka n itu),
maka tumbuhlah generasi baru dari anak-anak yang terlahir yang tidak mampu
“mengikat” lidah mereka (dengan
bahasa Arab), dari sinilah kefasihan dan kelancaran bahasa Arab, dan tabiat mereka rusak, hingga
mucullah “kesalahan
pengucapan bahasa Arab”,
kemudian memencar dan bertambah luaslah (kesalahan pengucapan bahasa Arab ini) hingga
mencemaska n dan
menggelisa hkan “Mereka yang
punya rasa cemburu” pada kefasihan bahasa Arab, dan menggoncan gkan jiwa-jiwa mereka.
Mengenai tokoh yang dapat disebut sebagai peletak batu pertama Ilmu Nahwu, ada perbedaan dikalangan para ahli.
Sebagian ahli mengatakan ,
peletak dasar Ilmu Nahwu adalah Abul Aswad
ad-Du'ali. Sebagian yang lain
mengatakan , Nashr bin 'Ashim.
Ada juga yang mengatakan ,
Abdurrahma n bin Hurmus. Namun,
dari perbedaan- perbedaan itu
pendapat yang paling populer dan diakui oleh mayoritas ahli sejarah adalah Abul
Aswad. Pendukung pendapat ini dari golongan ahli sejarah terdahulu antara lain
Ibnu Qutaibah (wafat 272 H), al-Mubarra d (wafat 285 H), as-Sairafi (wafat 368 H), ar-Raghib
al-Ashfaha niy (502 H), dan
as-Suyuthi (wafat 911 H),
sedangkan dari golongan ahli nahwu kontempore r antara lain Kamal Ibrahim, Musthofa as-Saqa, dan
Ali an-Najdiy Nashif. Penokohan Abul Aswad ini didasarkan atas jasa-jasan ya yang fundamenta l dalam membidani lahirnya Ilmu Nahwu.
Abul Aswad ad-Du'ali (wafat 69 H) adalah orang pertama yang mendapat kepercayaa n dari Khalifah Ali
bin Abi Thalib untuk menangani dan mengatasi masalah lahn yang mulai mewabah di
kalangan masyarakat awam. Ali
memilihnya untuk hal itu karena
ia adalah salah seorang penduduk Bashrah yang berotak genius,
berwawasan luas, dan
berkemampu an tinggi dalam bahasa
Arab. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu ketika, Abul Aswad melihat Ali sedang
termenung memikirkan sesuatu,
maka ia mendekatin ya dan
bertanya: "Wahai Amirul Mu'minin! Apa yang sedang engkau
pikirkan?" Ali menjawab: "Saya dengar
di negeri ini banyak terjadi lahn, maka aku ingin menulis sebuah
buku tentang dasar-dasa r bahasa
Arab". Setelah beberapa hari, Abul Aswad mendatangi Ali dengan membawa lembaran yang
bertuliska n antara lain:
"Bismillah ir rahmaanir
rahiim. Al-kalaamu kulluhu ismun
wafi'lun waharfun. Fal ismu maa anbaa 'anil musammaa, wal fi'lu maa anbaa a'an
harakatil musammaa, wal harfu maa anbaa 'an ma'nan laisa bi ismin walaa
fi'lin".
Artinya : "Dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Ujaran itu terdiri
dari isim, fi'il dan harf. Isim adalah kata yang mengacu pada sesuatu (nomina),
fi'il adalah kata yang menunjukka n aktifitas, dan harf adalah kata yang
menunjukka n makna yang tidak termasuk
kategori isim dan fi'il'.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa suatu ketika Abul Aswad mendengar seorang membaca ayat al-Qur'an:
"Inna AIlaaha bariiun minal mu'miniina warasuulih i" dengan mengkasrah lam dari kata rasuulihi, padahal
seharusnya
didlammah. Atas kejadian itu dia
kemudian meminta izin kepada Ziyad bin Abieh, Gubernur Bashrah, untuk menulis
buku tentang dasar-dasa r kaidah bahasa
Arab. Ibnu Salam dalam kitabnya Thabaqaatu Fuhuulisy Syu'araa
mengatakan "Bahwa Abul Aswad
adalah orang pertama yang meletakkan dasar ilmu bahasa Arab. Hal itu
dilakukann ya ketika ia melihat
lahn mulai mewabah di kalangan orang arab. Dia menulis antara
lain bab fa'il, maf'ul, harf jar, rafa', nashab, dan jazm." Berbagai riwayat
dengan berbagai sumber banyak sekali disebutkan oleh para ahli dalam rangka
men-dukung Abul Aswad seagai tokoh
peletak dasar Ilmu Nahwu.
Namun demikian, diantara riwayat-ri wayat itu masih banyak yang
diperdebat kan
keabsahann ya. Satu riwayat yang
cukup populer dan diakui keabsahann ya oleh para ahli adalah bahwa Abul Aswad berjasa
dalam memberi syakal (tanda baca) pada mushaf al-Qur'an. Sebagaiman a diketahui pada mulanya tulisan Arab itu tidak
bertitik dan tidak menggunaka n
tanda baca. Tidak ada tanda pembeda antara huruf dal dan dzal, antara huruf sin
dan syin, dan sebagainya . Juga tidak
ada perbedaan antara yang berbaris /a/, /i/, dan /u/.
Demikian juga tulisan yang ada pada mushaf al-Qur'an, sehingga banyak orang yang keliru dalam membaca
al-Qur'an, terutama umat Islam
non-Arab. Lama-kelam aan, karena
khawatir kesalahan itu akan semakin mewabah, Ziad bin Abi Sufyan meminta Abul
Aswad untuk mencari solusi yang tepat. Berangkat dari
permintaan itu akhirnya Abul
Aswad menemu-kan jalan, yaitu
dengan memberi tanda baca dalam al-Qur'an. Dengan tinta yang warnanya berlainan dengan
tulisan al-Qur'an. Tanda baca
itu adalah titik di atas huruf untuk fathah, titik dibawah huruf untuk kasrah,
dan titik di sebelah kiri atas untuk dlammah. Karena tanda baca itu berupa
titik-titi k, maka dikenal dengan
sebutan naqthul i'rab (titik penanda i'rab).
Meski para sarjana bahasa berbeda pendapat tentang Abu al-Aswad sebagai peletak dasar Ilmu Nahwu. Namun tidak boleh dilupakan bahwa di sana banyak sekali pendapat yang menguatkan keabsahan- nya sebagai pioner Ilmu Nahwu (wâdhi`-u `Ilm
al-Nahw-i) itu sendiri, seperti disinggung dengan bagus oleh Ahmad Amin, bahwa Ibn Qutaybah dalam
kitab al-Ma’ârif mengafirma si posisi Abu al-Aswad sebagai orang: “Yang
pertama kali meletakkan dasar pondasi
Nahwu”, Ibn Hajar pun dalam kitab Fî al-Ishâbah
mengutarak an hal yang senada:
“Orang yang pertama kali memberikan “titik” di mushaf dan meletakkan pondasi Nahwu adalah Abu al-Aswad. Inovasi yang
digagas oleh Abu al-Aswad ini, lambat-lau n, kemudian disambut hangat oleh para penduduk
Arab dikala itu. Maka tak heran jika ilmu ini berkembang begitu pesatnya sehingga
melahirkan banyak generasi mahir di
bidang ilmu
Bahasa Arab.
Setelah Abu al-Aswad wafat, dua muridnya yaitu: Nashr ibn Ashim al-Laitsi (Wafat 89 H) dan Yahya ibn Ya’mur (Wafat 129 H) langsung sigap mengambil tongkat estafet gurunya dalam mempelopor i perkembang an bahasa Arab dari masa ke masa. Selang beberapa
tahun kemudian, setelah kematian murid-muri d Abu al-Aswad, munculah seorang ulama popular
yang karya agungnya menjadi disiplin ilmu terkenal dalam sastra arab yaitu:
Khalil ibn Ahmad al-Farahid i.
Estafet Khalil ini melahirkan murid
brilian, Sibawaih, dengan karya besarnya: “al-Kitâb”.
Salah satu cara untuk mengenal dengan baik sebuah ilmu ialah dengan meninjau sejarahnya
Ilmu nahwu berbeda dari ilmu-ilmu ke-Arab-an
Sungguh, ilmu nahwu telah mendapatka
Dan sungguh sejarah kemanusiaa
Penyusunan
Ada pula sekelompok
Dari sini, dan karena hal ini serta yang lainnya, studi tentang sejarah tata bahasa Arab harus dilakukan dengan teliti, tekun, dan bebas tanpa sikap ekstrim, agar menghasilk
Cikal Bakal Ilmu Nahwu
Hampir semua pakar linguistik
Dari sisi sosial budaya, bangsa Arab dikenal mempunyai kebanggaan
Ada cerita yang menarik seputar cikal bakal terbentukn
Pada jaman Jahiliyyah
Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kai
Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad ad-Du'ali,
Dikisahkan
Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad ad-Du'ali menjadi ketakutan,
Kemudian Abul Aswad ad-Du'ali melaksana-
Seiring dengan berjalanny
Peletak Dasar Ilmu Nahwu
Adalah bangsa Arab dahulu pada masa Jahiliyah mendiami jazirah Arab, yang mana mereka tidak bercampur dengan bangsa-ban
Tempat-tem
Para ahli sastra pun berlomba-l
Mengenai tokoh yang dapat disebut sebagai peletak batu pertama Ilmu Nahwu, ada perbedaan dikalangan
Abul Aswad ad-Du'ali (wafat 69 H) adalah orang pertama yang mendapat kepercayaa
"Bismillah
Artinya : "Dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa suatu ketika Abul Aswad mendengar seorang membaca ayat al-Qur'an:
Namun demikian, diantara riwayat-ri
Demikian juga tulisan yang ada pada mushaf al-Qur'an,
Meski para sarjana bahasa berbeda pendapat tentang Abu al-Aswad sebagai peletak dasar Ilmu Nahwu. Namun tidak boleh dilupakan bahwa di sana banyak sekali pendapat yang menguatkan
Setelah Abu al-Aswad wafat, dua muridnya yaitu: Nashr ibn Ashim al-Laitsi (Wafat 89 H) dan Yahya ibn Ya’mur (Wafat 129 H) langsung sigap mengambil tongkat estafet gurunya dalam mempelopor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar