MUSHTHOLAHUL HADITS
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي وفق من شاء من عباده لأداء أفضل الطاعات، واكتساب أكمل
السعادات، وأشهد أن لا إله إلا الله المتصف بجميع الكمالات، وأشهد أن سيدنامحمداً
عبده ورسوله أفضل المخلوقات صلى الله عليه وسلّم، وعلى آله وأصحاب الأنجم النيرات،
صلاة وسلاماً دائمين ما دامت الأرض والسموات.
Amma Ba’duSemoga allah selalu menunjukkan
kita ke jalan lurus, dan meridhoi kita dalam setiap gerak langkah kita dalam
mengarungi hidup ini, semoga sholawat dan salam selalu tercurah kepada penuntun
hidup kita yaitu rasul Muhammad Saw.
Para ikhwan yang di rahmati Allah
Mari kita kaji barsama-sam tentang hadits dan sesuatu yang berkaitan dengan
hadits, yang mana makalah ini kami ambil dari beberapa sumber, semoga bermanfaat
di dunia hattal akhirat.
Setelah Al-Quran, hadits nabi shalallahu alaihi
wa sallam adalah panduan kedua umat Islam dalam menjalani
kehidupannya. Dan di antara kitab-kitab hadits yang jumlahnya puluhan, Shahih
Bukhari-lah yang keakuratannya paling terpercaya.
Dalam khazanah hukum Islam, kitab-kitab
hadits mempunyai kedudukan yang sangat penting, sebagai sumber kedua hukum
Islam setelah Al-Quran. Dalam ranah keilmuan hadits, dikenal istilah kutubus
sittah yang berarti enam kitab induk kumpulan hadits nabi yang
diakui sebagai rujukan.
Kemudian, berdasarkan kuantitas hadits-hadits shahihnya, keenam kitab
tersebut dibagi menjadi dua kelompok :
1. Kitab Shahih, yang jumlah hadits tidak shahihnya (yakni hadits hasan dan dhaif) secara
proporsional sangat sedikit sekali
2. Kitab Sunan, yang jumlah proporsi hadits tidak shahihnya lebih besar dari pada kitab
shahih.
Yang termasuk kitab shahih adalah
1. Shahih Bukhari karya Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin
Al-Mughirah Al-Bukhari
2. Shahih Muslim karya Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi
an-Naisaburi.
Sedangkan yang termasuk kitab-kitab
sunan adalah
1. Sunan Abu Dawud karya Al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistany,
2. Sunan Turmudzi karya Al-Imam Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At Turmudzi,
3. Sunan An-Nasa-i karya Al-Imam Ahmad bin Syu’aib An-Nasa’i Al-Khurasany, dan
4. Sunan Ibnu Majah karya Abu Abdullah Muhammad bin
Yazid bin Abdullah bin Majah Al-Quzwaini.
Selain itu, ada juga kitab-kitab hadits
berperingkat di bawah kutubus sittah. Sebut saja kitab Al-Muwaththa’ karya
Imam Malik, yang berisi ribuan hadits, dan Al-Musnad karya
Imam Ahmad bin Hanbal, yang juga berisi ratusan ribu hadits.
Selain kutubus sittah, ulama hadits juga memberikan beberapa sebutan lain
kepada kitab-kitab kumpulan hadits tersebut. Ada yang disebut kutubus sab’ah,
yang berarti kitab tujuh, yang berisi kutubus sittah plus Musnad Ahmad.
Belakangan juga ada istilah kutubut tis’ah, atau kitab sembilan, yang
ditujukan kepada kutubus sab’ah plus Al-Muwaththa’ dan Sunan Ad-Darimi.
Terkait dengan status hadits-hadits dalam
kutubus sittah, ternyata sebagian sudah diberi status hukum (shahih, hasan dan
dhaif) dan sebagian lagi belum. Yang sudah mendapat status hukum adalah dua
kitab induk, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Paling tidak, hadits-hadits itu telah dishahihkan oleh kedua penulisnya, yang
integritasnya sudah sangat diakui oleh dunia ulama hadits. Di bawah dua kitab
shahih di muka, Sunan Abu Daud menurut para ahli hadits juga dinyatakan banyak
mengandung hadits-hadits yang shahih.
‘ULUMUL HADITS
Ilmu Hadits ada dua macam, yaitu:
1] Ilmu Hadits Diroyah
1] Ilmu Hadits Diroyah
2] Ilmu Hadits Riwayah
PENJELASAN :
1] ILMU HADITS DIROYAH
Ilmu Hadits Diroyah, adalah ilmu hadits yang membahas tentang qoidah, yang
dengan ilmu tersebut dapat diketahui, di antaranya adalah:
1) Sanad, yaitu jalan hadits mulai dari pencatat hadits atau yang meriwayatkan hadits sampai kepada Nabi Shollallohu ‘Alihi Wasallam, tentang kebenaran, kedudukan, kondisi dan sifatnya.
2) Matan hadits, yaitu lafadhz atau isi hadits. Benar atau tidaknya hadits itu dari Nabi Shollallohu ‘Alihi Wasallam.
3) Cara perowi hadits menerima hadits dari seseorang pembawa hadits/berita/khabar atau cerita.
4) Cara perowi atau pembawa berita/hadits/cerita dalam menyampaikan apa-apa yang telah dia dengar.
5) Sifat perowi atau pembawa hadits, yaitu apakah ia adalah orang yang dapat dipercaya atau tidak, adil, dhobit, tsiqoh atau tidak.
1) Sanad, yaitu jalan hadits mulai dari pencatat hadits atau yang meriwayatkan hadits sampai kepada Nabi Shollallohu ‘Alihi Wasallam, tentang kebenaran, kedudukan, kondisi dan sifatnya.
2) Matan hadits, yaitu lafadhz atau isi hadits. Benar atau tidaknya hadits itu dari Nabi Shollallohu ‘Alihi Wasallam.
3) Cara perowi hadits menerima hadits dari seseorang pembawa hadits/berita/khabar atau cerita.
4) Cara perowi atau pembawa berita/hadits/cerita dalam menyampaikan apa-apa yang telah dia dengar.
5) Sifat perowi atau pembawa hadits, yaitu apakah ia adalah orang yang dapat dipercaya atau tidak, adil, dhobit, tsiqoh atau tidak.
2] ILMU HADITS RIWAYAH
Ilmu Hadits Riwayah, adalah ilmu untuk mengetahui atau yang membahas tentang hal-hal tersebut (Sanad, Matan, Rowi), yang dikenal juga dengan ilmu mushtholahul hadits.
Ilmu Hadits Riwayah, adalah ilmu untuk mengetahui atau yang membahas tentang hal-hal tersebut (Sanad, Matan, Rowi), yang dikenal juga dengan ilmu mushtholahul hadits.
ILMU MUSHTHOLAAHUL HADITS
Ilmu Mustholaahul Hadits, adalah ilmu yang membahas atau untuk mengetahui keadaan rowi dan hadits yang diriwayatkan dapat diterima atau tidak.
DEFINISI HADITS
Hadits menurut bahasa artinya berita atau baru. Sedangkan menurut ahli hadits, adalah: “Maa Udhiifa Ilan Nabiyyin Shollalloohu ‘Alaihi Wasallama Minqoulin Au Fi’lin Au Taqriirin Au Washfin”, artinya: “Berita yang memuat perkataan, perbuatan, ketetapan, cita-cita, kesepakatan dan sifat Nabi Shollallohu ‘Alihi Wasallam”.
KUTUBUS SITTAH,
jika disebut Kutubus Sittah, maka yang dimaksud adalah enam kitab hadits
ummahat, yaitu:
1. Shohih Al-Bukhori
2. Shohih Muslim
3. Sunan Nasaa’i
4. Sunan Abu Daud
5. Sunan At-Tirmidzi
6. Sunan Ibnu Maajah.
1. Shohih Al-Bukhori
2. Shohih Muslim
3. Sunan Nasaa’i
4. Sunan Abu Daud
5. Sunan At-Tirmidzi
6. Sunan Ibnu Maajah.
KUTUBU TIS’AH,
jika disebut Kutubu Tis’ah, maka yang dimaksud adalah sembilan kitab
hadits ummahat, yaitu:
1. Shohih Al-Bukhori
2. Shohih Muslim
3. Sunan Nasaa’i
4. Sunan Abu Daud
5. Sunan At-Tirmidzi
6. Sunan Ibnu Maajah
7. Musnad Ahmad
8. Muwatho’ Malik
9. Sunan Darimi
1. Shohih Al-Bukhori
2. Shohih Muslim
3. Sunan Nasaa’i
4. Sunan Abu Daud
5. Sunan At-Tirmidzi
6. Sunan Ibnu Maajah
7. Musnad Ahmad
8. Muwatho’ Malik
9. Sunan Darimi
ISTILAH-ISTILAH DALAM PENYEBUTAN PEROWI HADITS
ROWAHU SAB’AH,
jika disebut Rowahu Sab’ah maka yang dimaksud adalah bahwa hadits
tersebut diriwayatkan oleh tujuh ulama’ ahli hadits, yaitu Imam Bukhori, Imam
Muslim, Imam Nasaa’i, Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam Ibnu Maajah, Imam
Ahmad.
ROWAHU SITTAH,
bila disebut Rowahu Sittah maka yang dimaksud adalah bahwa hadits
tersebut diriwayatkan oleh enam orang perowi hadits, yaitu: Imam Bukhori, Imam
Muslim, Imam Nasaa’i, Imam Abu Baud, Imam Tirmidzi, Imam Ibnu Maajah.
ROWAHU AL-KHOMSAH,
jika disebut Rowahu Al-Khomsah, maka yang dimaksud adalah bahwa hadits
tersebut diriwayatkan oleh lima orang perowi hadits, yaitu: Imam Abu Daud, Imam
Tirmidzi, Imam Nasaa’i, Imam Ibnu Maajah, Imam Ahmad.
ROWAHU AL-ARBA’AH,
bila disebut Rowahu Al-Arba’ah maka yang dimaksud adalah hadits tersebut
diriwayatkan oleh empat orang perowi hadits, yaitu: Imam Abu Daud, Imam
Tirmidzi, Imam Nasaa’i, Imam Ibnu Maajah.
ROWAHU TSALATSAH,
bila disebut Rowahu Tsalatsah maka yang dimaksud adalah bahwa hadits
tersebut diriwayatkan oleh tiga orang perowi hadits, yaitu: Imam Abu Daud, Imam
Tirmidzi, Imam Nasaa’i.
MUTTAFAQ ‘ALAIH,
jika disebut Muttafaqun ‘Alaihi maka yang dimaksud adalah bahwa
hadits tersebut diriwayatkan oleh dua orang perowi hadits, yaitu: Imam Bukhori
dan Imam Muslim.
HADITS NABAWI-HADITS QUDSI
1. Soal : Apakah Hadits Nabawi itu?
Jawab : Hadits Nabawi atau Hadits Nabi, adalah hadits yang mengungkapkan semua sabda-sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam “hadits qouliyah”, semua perbuatannya “hadits fi’liyah”, semua persetujuannya atau sesuatu yang didiamkam oleh Nabi ketika Nabi melihat sahabat mengucapkan atau melakukannya “hadits taqririyah”, dan semua cita-cita Nabi “hadits hammiyah” untuk diamalkan, walaupun Nabi sendiri belum sempat mengamalkan cita-citanya itu sebab keburu wafat duluan.
- Dan penting untuk dipahami bahwa kata “hadits” kadang juga digunakan untuk segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat maupun tabi’in, tabi’it-tabi’in dan tabi’ahum.
- Jadi, hadits ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi atau Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, baik itu yang berupa perkataan,perbuatan, penetapan ataupun sifat.
HADITS NABAWI-HADITS QUDSI
1. Soal : Apakah Hadits Nabawi itu?
Jawab : Hadits Nabawi atau Hadits Nabi, adalah hadits yang mengungkapkan semua sabda-sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam “hadits qouliyah”, semua perbuatannya “hadits fi’liyah”, semua persetujuannya atau sesuatu yang didiamkam oleh Nabi ketika Nabi melihat sahabat mengucapkan atau melakukannya “hadits taqririyah”, dan semua cita-cita Nabi “hadits hammiyah” untuk diamalkan, walaupun Nabi sendiri belum sempat mengamalkan cita-citanya itu sebab keburu wafat duluan.
- Dan penting untuk dipahami bahwa kata “hadits” kadang juga digunakan untuk segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat maupun tabi’in, tabi’it-tabi’in dan tabi’ahum.
- Jadi, hadits ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi atau Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, baik itu yang berupa perkataan,perbuatan, penetapan ataupun sifat.
RANGKUMAN STUDI TENTANG HADITS
SUNNAH, HADITH, KHABAR DAN ATSAR
1. Pengertian HADITS
HADITS menurut bahasa berarti sesuatu yang baru lawan kata dari sesuatu yang
lama.bisa juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Secara terminologi, ahli
HADITS dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian
HADITS. Bahkan di kalangan ulama HADITS sendiri ada beberapa definisi yang
antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan HADITS, adalah
: "Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya".
Ulama HADITS menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah
segala pemberitaan tentang Nabi, seperti yang berkaitan dengan himmah,
karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli HADITS
yang lain merumuskan pengertian HADITS dengan : "Segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun
sifatnya".
Dari pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan. Kasamaan tersebut ialah
HADITS dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan
maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir
dari perumusan definisi HADITS. Ada yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai
komponen HADITS, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada yang menyebut
taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk HADITS, tetapi ada
juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya. Sedangkan
ulama Ushul, mendefinisikan HADITS : "Segala perkataan
Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara'".
Berdasarkan rumusan definisi HADITS baik dari ahli HADITS maupun ahli ushul,
terdapat persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu
yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung prilaku dan ucapan shabat
atau tabi'in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya.
Pengertian as-Sunnah
Pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa adalah Jalan, sperti sabda Nabi
: "Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka
baginya pahala Sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakan hingga hari
kiamat. Dan barang siapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya
dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari
kiamat" (H.R. Al-Bukhary dan Muslim).
Sedangkan, Sunnah menurut istilah ahli HADITS ialah :segala yang dinukilkan
dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir,
pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik
sebelum diangkat menjadi Rasul, maupun sesudahnya.
Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat
perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan HADITS, dan ada ulama yang
membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda
dengan istilah HADITS. Ulama ahli HADITS merumuskan pengertian sunnah sebagai
berikut : "Segala yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum
diangkat menjadi Rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira maupun
sesudahnya".
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut sebagian
ulama sama dengan kata HADITS. "Ulama yang mendefinisikan sunnah
sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah
atau qudwah yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Olah
karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang
diterima tentang diri Rasul SAW., tanpa membedakan apakah (yang diberitakan
itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara' atau tidak. Begitu juga
mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau
perbuatannya itu sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.
Pengertian al-Khabar dan al-Atsar
a) Pengertian Khabar
Selain istilah HADITS dan Sunnah, terdapat istilah Khabar dan Athar. Khabar
menurut lughat, adalah berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang
lain. Untuk itu dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa),
kata Khabar sama artinya dengan HADITS. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang
dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa istilah HADITS sama artinya dengan khabar,
keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu, mauquf, dan maqthu'. Ulama
lain, mengatakan bahwa kbabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW.,
sedang yang datang dari Nabi SAW. disebut HADITS. Ada juga ulama yang
mengatakan bahwa HADITS lebih umum dari khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah
'umumun wa khushushun muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap HADITS dapat dikatkanan
Khabar, tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan HADITS.
Ada ulama yang berpendapat bahwa khabar digunakan buat segala warta yang
diterima dari yang selain Nabi SAW. Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang
yang meriwayatkan HADITS dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah
dinamai akhbary atau khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa HADITS lebih
umum dari khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa khabar lebih
umum dari pada HADITS, karena masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang
diriwayatkan, baik dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan HADITS khusus
terhadap yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja.
b) Pengertian Atsar
Athar menurut lughat ialah bekas sesuatu, atau sisa sesuatu, juga berarti
nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do'a yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do'a
ma'tsur. Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan
HADITS. Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara
ulama. "Jumhur ahli HADITS mengatakan bahwa Athar sama dengan khabar,
yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi'in.
Sedangkan menurut sebagian ulama , Athar untuk yang mauquf dan
khabar untuk yang marfu.
4. Perbedaan HADITH dengan as-Sunnah,
al-Khabar, dan al-Atsar
Keempat istilah yaitu HADITS, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut jumhur ulama
HADITS dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa HADITS disebut
juga dengan sunnah, khabar atau athar. Begitu pula halnya sunnah, dapat disebut
dengan HADITS, khabar dan atsar. Maka HADITS Mutawatir dapat juga disebut
dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga HADITS Shahih dapat
disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih.
Berdasar penjelasan mengenai HADITS, Sunnah, Khabar, dan Atsar ada sedikit
perbedaan yang perlu diperhatikan antara HADITS dan sunnah menurut pendapat dan
pandangan ulama, sebagai berikut :
(a) HADITS dan Sunnah : HADITS terbatas
pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan
Sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat
menjadi Rasul maupun sesudahnya.
(b) HADITS dan Khabar : Sebagian ulama
HADITS berpendapat bahwa Khabar sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan
kepada selain Nabi SAW., HADITS sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan
kepada Nabi SAW. sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai Atsar".
(c) HADITS dan Atsar : Jumhur ulama
berpendapat bahwa Athar sama artinya dengan khabar dan HADITS. Ada juga ulama
yang berpendapat bahwa Atsar sama dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in
B. Hadis pada Masa Rasulullah s.a.w.
Keberadaan Hadith sejak awal perkembangan
Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi.Dan adalah wajar
sekali jika kaum muslimin (para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang
dilakukan maupun yang diucapkan oleh beliau, terutama sekali yang berkaitan
denga keagamaan. Orang Arab yang suka menghafal dan syair-syair dari para
penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal mereka dan pernyataan-pernyataan
dari para hakim, tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan dan
ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah. Di samping
sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan. Selanjutnya dalam kapasitasnya
sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah
tangga, teman) maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai
ajaran Islam. Beliau sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus
disampaikan dan terwujud secara kongkret dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Karena itu, setiap kali ada kesempatan Nabi memanfaatkannya berdialog dengan
para sahabat dengan berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hal itu
untuk lebih mendalami ajaran Islam.
Para sahabat tidak
sekedar mengisahkan kembali pengamatan mereka terhadap Rasul, tetapi apa yang
didapat dari Rasul benar-benar menjadi petunjuk dan pedoman dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Sebagian sahabat sengaja mendatangi Rasul dari tempat
tinggal mereka yang jauh hanya sekadar menanyakan sesuatu hukum syar’i.
Dikisahkan pula para Kabilah yang tinggal jauh dari kota Madinah secara rutin
mengutus salah seorang anggotanya pergi mendatangi Nabi untuk mempelajari hukum
agama. Dan sepulang mereka ke kampungnya, mereka segera mengajari
kawan-kawannya.
Hadis Nabi yang sudah
diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang dicatat. Sahabat
yang banyak mengahafal hadis dapat disebut misalnya Abu Hurairah , sedangkan sahabat yang membuat catatan hadis
diantaranya ; Abu Bakar Shidiq, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash,
dan Abdullah bin Abbas
Minat yang besar dari
para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis disebabkan oleh beberapa
hal, diantaranya :
Pertama, Dinyatakan secara
tegas dalam al-Qur’an, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah)
yang harus diikuti oleh orang-orang beriman.
Kedua, Allah dan Rasul-Nya
memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan Hal ini
telah mendorong para sahabat untuk berusaha memperoleh pengetahuan yang banyak,
yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabisendiri.
Ketiga, Nabi memerintahkan
para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir.
Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham
daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi. Perintah ini telah
mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.
Setelah melihat
perkembangan penyebaran hadis pada masa itu, Nabi tampaknya cukup khawatir para
sahabat terjerumus dalam penyampaian berita yang tidak benar, karena pada
umumnya manusia cenderung untuk “membumbui” berita yang ingin disampaikannya.
Di samping itu masyarakat pada umumnya tertarik kepada berita yang sensasional
dan didramatisir sedemikian rupa
Di samping itu Nabi juga
khawatir jika fokus utama kajian sahabat bergeser dari al-Qur’an ke hadits,
baik secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana sabdanya:”Janganlah
kalian tulis apa yang kalian dengan dariku, selain al-Qur’an.Barangsiapa yang
telah menulis sesuatu yang selain al-Qur’an hendaklah dihapus” (HR.
Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri).
C. Hadits Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Setelah Nabi wafat (11 H/632 M),
kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat. Sahabat Nabi yang pertama
menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M),
kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Usman bin Affan
(wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). keempat khalifah
ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya
disebut dengan zaman sahabat besar.
Sesudah Ali bin Abi
Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul era sahabat
kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam
perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa
itu. Di antara sahabat Nabi yang amsih hidup setelah periode al-Khulafa
al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis diantaranya
‘Aisyah (wafat 57 H/677 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas
(wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin Khaththab (wafat 73 H/692 M), dan
Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M) Abu Bakar merupakan sahabat
Nabi yang pertama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis.
Pernyataan seperti ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar ketika menghadapi
kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada
khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta ynag ditinggalkan oleh
cucunya. Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak melihat petunjuk al-Qur’an dan
praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu
bertanyaa kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu
Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam
(1/6) bagian. Al-Mughirah mengaku hadir ketika Nabi menetapkan demikian itu.
Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan
seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran
pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek
dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis Nabi yang disampaikan al-Mughirah
tersebut
Kasus dia atas memberikan petunjuk, bahwa
Abu Bakar ternyata tidak bersegera menerima riwayat hadis, sebelum meneliti
periwayatannya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat
hadis untuk menghadirkan saksi.
Bukti lain tentang sikap
ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadis terlihat pada tindakannya yang telah
membakar catatan hadis miliknya.‘Aisyah, menyatakan bahwa Abu Bakar telah
membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadis. Abu Bakar menjelaskan
bahwa dia membakar catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah dalam
periwayatan hadis..Sebagaimana Abu Bakar, khalifah selanjutnya, Umar bin
al-Khaththab juga terkenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini
terlihat misalnya, ketika Umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubay bin
Ka’ab, Umar baru bersedia menerima hadis dari Ubay, setelah para sahabat yang
lain, seperti Abu Dzar menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa
yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay :”Demi
Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya bertindak demikian
karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi”.
Selain itu, Umar juga menekankan kepada
para sahabatnya agar tidak meriwayatkan hadis di masyarakat. Alasannya, agar
masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami al-Qur’an
Abu Hurairah yang dikemudian hari dikenal banyak menyampaikan riwayat hadis,
pada zaman Umar terpaksa menahan diri untuk tidak banyak meriwayatkan hadis.
Abu Hurairah pernah menyatakan, sekiranya dia banyak meriwayatkan hadis pada
zaman Umar, niscaya dia akan dicambuk oleh UmarGerakan pengetatan periwaytan
hadis, bahkan dapat dikatakan penghilangan sebagian hadis oleh dua khalifah itu
telah memberikan pengaruh baik positif maupun negatif dalam perkembangan hadis
di kemudian hari. Implikasi positif dari gerakan itu adalah otentisitas hadis
lebih terjaga sekaligus membuka peluang interpretasi yang lebar bagi umat Islam
dalam mengapresiasi keberagamaannya karena tidak terkungkung oleh normativitas
hadis. Di sini kreatifitas umat mendapat lahan yang cukup subur sehingga dapat
berkembang dengan baik.
Tetapi implikasi negatif dari gerakan
pengetatan hadis itu mengakibatkan banyak hal.
Pertama, hilangnya sejumlah
besar hadis. Urwah bin Zubair pernah berkata :” Dulu aku menulis
sejumlah hadis, kemudia aku hapuskan semuanya. Sekarang aku berfikir, alangkah
baiknya kalau aku tidak menghancurkan hadis-hadis itu. Aku bersedia memberikan
seluruh anakku dan hartaku untuk memperolehnya kembali”
Kedua, terbukanya peluang
pemalsuan hadis. Abu al-Abbas al-Hanbali menulis, “Salah satu penyebab
timbulnya perbedaan pendapat di antara para ulama adalah hadis-hadis dan
teks-teks yang kontradiktif. Sebagian orang menuding Umarlah yang bertanggung
jawab atas kejadian itu, karena para sahabat meminta ijin untuk menulis hadis
tetapi umar mencegahnya. Seandainya para sahabat menulis apa-apa yang pernah
didengarnya dari Rasulullah s.a.w., sunnah akan tercatat tidak lebih dari satu
mata rantai saja antara Nabi dan umat sesudahnya”.
Ketiga, periwayatan dengan
makna. Karena orang hanya menerima hadis secara lisan, ketika menyampaikan
hadis itu, mereka hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan,
redaksinya dapat berubah-ubah. Karena makna adalah masalah persepsi, masalah
penafsiran, maka redaksi hadis berkembang sesuai dengan penafsiran orang yang
meriwayatkannya.
Keempat, terjadinya perbedaan
pendapat di kalangan umat. Bersamaan dengan perbedaan ini, lahirlah akibat yang
kelima, yaitu ra’yu menjadi menonjol dalam proses interpretasi keagamaan.
Karena sejumlah hadis hilang, orang-orang mencari petunjuk dari ra’yu-nya.
Dalam semua kejadian itu, dominasi ra’yu
sangat ditopang oleh hilangnya catatan-catatan hadis. Untuk memperparah
keadaan, tidak ada rujukan tertulis menyebabkan banyak orang secara bebas
membuat hadis untuk kepentingan politis, ekonomis dan sosiologisnya. Kemudian
ditambah panjangnya rangkaian periwayatan hadis telah memungkinkan orang-orang
menambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada hadis. Begitu juga dengan kegiatan
khalifah sesudah Umar bin al-Khaththab, yakni Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib. Dari beberapa sumber , dapat diterangkan bahwa dua khalifah terakhir-
sebagaimana dua khalifah sebelumnya- melakukan pula gerakan pengetatan hadis.
Walaupun tidak seketat dan seradikal apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar
maupun Umar. Sikap sedikit longgar oleh dua khalifah terakhir ini mungkin
disebabkan oleh pribadi dua khalifah itu yang tidak sekeras Umar , dan juga
karena wilayah kekuasaan Islam semakin luas, sehingga menyulitkan adanya
kontrol yang ketat terhadap kegiatan periwayatan hadis. Secara pribadi Utsman
jauh lebih sedikit meriwayatkan hadis, dibanding dengan tiga khalifah yang
lain. Sedangkan Ali dalam meriwayatkan hadis, disamping lisan juga tertulis). Sebagaimana telah
diketahui, salah satu sahabat yang rajin menulis hadis diantaranya adalah Ali
bin Abi Thalib, yang tulisan hadisnya terkumpul dalam shahifah Ali.
Beberapa sahabat Nabi selain Khulafa’
al-Rasyidin telah menunjukkan pula sikap hati-hati mereka baik dalam
menerima atau meriwayatkan hadis. Hal ini dapat dilihat, misalnya, pada
pernyataan-pernyataan mereka sebagai berikut :
Anas bin Malik berkata,
sekiranya dia tidak takut keliru niscaya semua apa yang telah didengarnya dari
Nabi dikemukakan pula kepada orang lain. Pernyataan Anas ini menunjukan bahwa
tidak seluruh hadis yang pernah didengarnya dari Nabi disampaikannya kepada
sahabat lain atau kepada tabi’in, Sikap hati-hati para sahabat Nabi tersebut
bukan hanya ketika menyampaikan hadis saja, melainkan juga ketika menerimanya.
Tidak jarang seorang sahabat terpaksa menempuh perjalanan yang sangat jauh
hanya untuk mendapatkan atau mencocokkan sebuah hadis saja.
Pada periode sahabat ini
telah muncul tradisi kritik terhadap hadis yang dibawa oleh sesama sahabat.
Tradisi kritik hadis ini untuk menjaga otentisitas hadis dan agar hadis tidak
mudah untuk dipalsukan, baik secara sengaja maupun tidak. Misalnya, sikap
Aisyah r.a. ketika mendengar hadis yang menyatakan bahwa orang mati itu diadzab
Tuhan karena ditangisi keluarganya. Bunyi hadis itu :”… sesungguhnya
orang mati itu diadzab karena tangis keluarganya …”. ‘Aisyah menolak
hadis itu dengan nada tanya :”Apakah kalian lupa firman Allah: …
seseorang tidak akan menanggung/memikul dosa orang lain Dalam kasus
lain, Abu Hurairah pernah meriwayatkan hadis “Barangsiapa junub hingga
subuh, maka puasanya tidak berguna”. Setelah berita itu sampai kepada
‘Aisyah, ia menolak hadis tersebut seraya mengatakan bahwa ketika Nabi
berpuasa, ia mandi jinabat setelah masuk waktu Subuh, kemudian Shalat dan
berpuasa mendengar kritik itu Abu Hurairah menyerah dan mengatakan bahwa
‘Aisyah lebih mengetahui persoalan ini, dan mengatakan bahwa ia tidak mendengar
langsung dari Nabi, tetapi dari sahabat lain
Penulisan resmi hadits dalam kitab hadits,
seperti dijumpai sekarang baru dimulai pada masa Bani Umayyah, yaitu pada zaman
Umar bin Abd Aziz. Penulisan secara resmi (kodifikasi) atau disebut juga tadwin,
dimulai setelah adanya perintah dari Khalifah Umar bin Abd Aziz kepada para
pakar hadis untuk menuliskannya. Dengan demikian, penulisan hadis yang
dilakukan oleh perorangan sebelum adanya perintah Umar tidak dikategorikan
kepada lingkup pengertian kodifikasi. Namun, untuk melihat sejarah perkembangan
hadis dari waktu ke waktu, akan dipaparkan mulai zaman Nabi sampai tadwin.
Hal ini dianggap perlu sebagai upaya untuk melihat perjalanan hadis secara
periodik. Para ulama hadis tidak sependapat dalam menentukan jumlah periodisasi
hadis. Ada yang membaginya menjadi tiga periode, lima periode, bahkan tujuh
periode..
Periode pertama adalah periode
Nabi dan disebut masa wahyu dan pembentukan. Pada periode ini, Nabi melarang
para sahabat menulis hadis, karena disamping adanya rasa takut bercampur antara
hadis dan al-Qur’an, juga agar potensi umat Islam lebih tercurah kepada
al-Qur’an. Namun, walaupun ada larangan, sebagian sahabat ada juga yang
berinisiatif menuliskannya untuk berbagai alasan. Pada masa ini, para sahabat
menerima hadis dari Nabi melalui dua cara: langsung dan tidak langsung.
Penerimaan secara langsung di antaranya melalui ceramah atau khutbah, pengajian
atau penjelasan terhadap pertanyaan yang disampaikan kepada Nabi. Adapun yang
tidak langsung di antaranya mendengar dari sahabat yang lain atau mendengar
dari utusan-utusan, baik utusan dari Nabi ke daerah-daerah atau utusan dari
daerah yang datang kepada Nabi. Ciri utama periode ini ialah aktifnya para
sahabat dalam menerima hadis dan menyalinnya sendiri-sendiri. Di samping itu,
sahabat menerima hadis dan menyampaikannya kepada yang lain melalui kekuatan
hafalan.
Periode kedua adalah zaman kuhulafa
rasyidin. Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadis dan penyedikitan
riwayat. Usaha para sahabat dalam membatasi hadis dilatarbelakangi oleh rasa
khawatir akan terjadinya kekeliruan. Kekhawatiran muncul karena suhu politik
uamt Islam secara internal sudah mulai labil, terutama dalam suksesi
kepemimpinan yang selalu menimbulkan perpecahan bahkan fitnah. Oleh karenanya
para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Mereka
melakukan periwayatan hadis dengan dua cara:lafzdi dan ma’nawi.
Periode ketiga adalah penyebaran
hadis ke berbagai wilayah yang berlangsung papa masa sahabat kecil dan tabi’in
besar. Pada masa ini, wilayah Islam sudah sampai ke Syam, Irak, Mesir, Persia,
Samarkhand, Spanyol. Bertambah luasnya wilayah berdampak kepada menyebarnya
hadis ke wilayah-wilayah tersebut yang dibawa oleh para pemimpin atau menjadi
guru pengajar di sana. Di antara tokoh-tokoh hadis pada masa ini ialah Sa’id
dan Urwah di Madinah, Ikrimah dan Atha bin Abi Rabi’ah di Mekkah, Ibrahim
al-Nakha’i di Kufah, Muhammad bin Sirin di Bashrah dan Wahab bin Munabih di
Yaman.
Periode keempat adalah periode
penulisan dan pembukuan hadis secara resmi. Penulisan dimulai setelah ada
perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd. Aziz (717-720M) sampai akhir abad
ke-8 M. Ia adalah khalifah Bani Umayyah yang menginstruksikan kepada Abu Bakar
bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, Gubernur Madinah untuk menulis hadis seperti
dikutip oleh Muhammad Ajaj al-Khatib:“Perhatikanlah atau periksalah
hadis-hadis Rasulullah saw, kemudian tulislah! Aku khawatir lenyapnya ilmu
dengan meninggalnya para ulama; dan janganlah engkau terima kecuali hadis
Rasulullah saw.”
Latarbelakang Umar bin Abd. Aziz
menginstruksikan untuk mengkodifikasi hadis adalah bercampur baurnya hadis
sahih dengan hadis palsu, di samping rasa takut dan khawatir lenyapnya hadis
dengan meninggalnya para ulama dalam perang. Pentadwinan berlangsung sampai
masa Bani Abbas sehingga melahirkan para ulama hadis, seperti Ibnu Juraij
(w.179 H) di Mekkah, Abi Ishaq (w.151 H) dan Imam Malik (w.179 H) di Madinah,
al-Rabi Ibin Sabih (w.160 H) dan Abd. Al-Rahman al-Auzi (w.156 H) di Suriah. Di
samping lahirnya para ulama hadis, dihasilkan pula sejumlah kitab-kitab karya
para ulama, baik berupa ijma’i, al-Musnaf, maupun al-Musnad. Misalnya, al-Musnad karya
Imam Syafi’i, al-Musnaf karya al-Auzi, dan al-Muawaththa’karya
Imam Malik yang disusun atas perintah khalifah Abu Ja’far al-Mansur.
Kitab-kitab hadis terbitan periode ini belum terseleksi betul sehingga isinya
masih bercampur antara hadis Nabi dan fatwa sahabat, bahkan fatwa tabi’in, atau
hadis marfu’, mauquf, dan maqthu’ di
samping juga hadis palsu.
Periode kelima adalah periode
pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan yang berlangsung antara
awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-5 Hijriyah. Atau tepatnya, saat Dinasti
Abbasiyah dipegang oleh khalifah al-Makmun sampai al-Mu’tadir. Pada masa
ini para ulama mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan
pengklasifikasian, yaitu dengan cara memisahkan hadismarfu’ dari
hadis maqthu’. Hasil dari gerakan ini adalah lahirnya kitab-kitab
hadis yang sudah terseleksi, seperti kitab Sahih, Kitab Sunan, dan Kitab
Musnad. Kitab Sahih adalah kitab hadis yang hanya memuat hadis-hadis sahih dan
hadis-hadis yang tidak terlalu lemah (dha’if). Adapun kitab Musnad
adalah kitab hadis yang mengoleksi segala macam hadis tanpa memperhatikan
kualitasnya (sahih dan tidaknya), juga tidak menerangkan derajat hadis. Pada
periode ini tersusun enam kitab hadis l yang disebut Kutub al-Sitah,
yaitu:
1. Al-Jami’ al-Shahih karya Imam
al-Bukhari (194-252 H)
2. Al-Jami’ al-Shahih karya Imam Muslim
(204-262 H)
3. Al-Sunan Abu Dawud Karya Abu Dawud
(202-275 H)
4. Al-Sunan Karya al-Tirmidzi
(200-279 H)
5. Al-Sunan Karya al-Nasa’i (215-302
H)
6. Al-Sunan Karya Ibnu Majah
(207-273 H)
Periode keenam adalah masa
pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan. Periode ini berlangsung
sekitar dua setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad
ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiyah ke tangan Khulagu Khan tahun
656 H/1258 M.
Gerakan ulama hadis pada periode keenam
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gerakan ulama periode kelima. Hasil dari
gerakan mereka adalah lahirnya sejumlah kitab hadis yang berbeda seperti Kitab
Syarah, Kitab Mustakhrij, Kitab athraf, Kitab Mustadrak, dan Kitab
Jami’. Kitab Syarah ialah kitab hadis yang memperjelas dan
mengomentari hadis-hadis tertentu yang sudah tersusun dalam beberapa kitab
hadis sebelumnya. Kitab mustakhrij ialah kitan hadis yang
metode pengumpulan hadisnya dengan cara mengambil hadis dari ulama tertentu
lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadis
tersebut. Kitabathraf ialah kitab hadis yang hanya memuat sebagian
matas hadis, tetapi sanadnya ditulis lengkap. Kitab Mustadrik ialah
kitab yang memuat hadis-hadis yang memenuhi syarat-syarat Bukhari dan Muslim
atau syarat-syarat salah satu dari keduanya. Kitab Jami’ ialah
kitab yang memuat hadis yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
Periode ketujuh adalah periode
pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan. Periode ini merupakan kelanjutan
periode sebelumnya, terutama dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan hadis.
Ulama para periode ini mulai mensistemasi hadis menurut kehendak penyusun,
memperbaharui kitab mustakhrij dengan cara membagi-bagi hadis
menurut kualitasnya. Mereka cenderung menyusun hadis sesuai dengan topik
pembicaraan.
Al-Muwatta atau Muwatta
Malik merupakan kitab hadits dan fiqih yang disusun oleh
Imam Malik bin Anas, merupakan salah satu dari Kutubut
Tis'ah (sembilan kitab hadits utama di kalangan Sunni). Kitab ini
terdiri dari dua bagian:
· Perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad
(juga dikenal sebagai sunnah). Riwayat perkataan dan perbuatan Nabi disebut
hadits.
· Pendapat dan keputusan resmi sahabat Nabi,
penerus mereka, dan beberapa ulama kemudian.
Imam Malik (nama lengkap Malik bin Anas
bin Malik bin Abu Amir Al-Ashbahi) dilahirkan tahun 93 H dan wafat tahun 179 H.
Ia banyak tinggal di Madinah, kota tempat kediaman Nabi. Ia ulama Islam yang
terkenal, dan pendiri mazhab Maliki. Ia dikenal mempunyai lebih dari seribu
murid. Selama kehidupannya, Imam Malik senantiasa memperbarui Muwaththa beliau,
sehingga kitab ini mencerminkan pembelajaran dan pengetahuan beliau selama
lebih dari empat puluh tahun. Kitab ini mengandung seribuan hadits. Penting
diketahui bahwa Imam Malik tidak menulis semua riwayat dari Nabi.
Biografi Singkat Al-Imam Malik ra.
1. Nama
dan Nasabnya
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah
Malik bin Anas bin Malik bin Anas bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin
Amr bin Al Harits Al Ashbahiy Al Humairiy. Nasabnya berakhir pada Ya'rib bin
Yasyjub bin Qaththan. Datuknya yg juga bernama Malik bin Anas termasuk seorang
tabi'in besar dan salah satu yg ikut memikul Khalifah Utsman ke kuburnya. Datuk
kepada datuknya, Anas, adalah seorang sahabat agung, yg selalu mengikuti
Rasulullah SAW dalam semua peperangan kecuali perang Badar.
Ibunya bernama Al Aliyah binti Syariek Al Asadiyah. Namun, ada juga yg mengatakan ibunya adalah Thulaihah, bekas budak Ubaidullah bin Ma'mar.
Ibunya bernama Al Aliyah binti Syariek Al Asadiyah. Namun, ada juga yg mengatakan ibunya adalah Thulaihah, bekas budak Ubaidullah bin Ma'mar.
Kelahiran Dan
Dibesarkan:
Imam Malik lahir di Madinah Al Munawaroh
pada tahun 95 H. Disana beliau menulis kitabnya Al-Muwaththo'. Beliau menimba
ilmu dari 100 orang guru lebih. Beliau hidup selama 84 tahun, wafat pada tahun
179 H dan dimakamkan di Baqie. Beliau meriwayatkan hadis dari sejumlah besar
Tabi'ien dan Tabi'ut Tabi'ien, diantaranya : Nafi' bekas budak Ibn Umar, Ibn
Syihab Az Zuhri, Abu Az Zanad, Abdurrahman bin Al Qasim, Ayyub As Sakhtiyani,
Yahya bin Sa'id Al Anshari, Aisyah binti Sa'ad bin Abi Waqqash, Zaid bin Aslam,
Humaid Ath Thawiel, dan Hisyam bin Urwah. Sebaliknya, tidak sedikit guru2nya yg
meriwayatkan hadis dari beliau sesudah itu, seperti Az Zuhri dan Yahya bin
Sa'id Al Anshari. Cukup banyak perawi yg meriwayatkan hadis dari beliau. Al
Hafidh Abu Bakar Al Khatib Al Baghdadi menulis sebuah kitab tentang para perawi
yg meriwayatkan dari Imam Malik. Dalam kitab tersebut, Al Baghdadi menyebutkan
hampir 1000 orang perawi. Diantara tokoh2 yg meriwayatkan hadis dari beliau :
Sufyan Ats Tsauri, Abdullah bin AL Mubarak, Abdurrahman Al Auza'i, Abu Hanifah,
Asy Syafi'i, dll.
Kedudukannya:
Para Imam dan Ulama yg berkomentar tentang
Imam Malik ra.:
a. Asy Syafi'i : Apabila ulama disebut,
maka Malik adalah bintangnya.
b. Ibn Mu'in : Malik termasuk hujjah Allah
atas makhluk Nya.
c. Yahya bin Sa'id Al Qaththan : Malik
adalah amirul mukminin dalam bidang hadis.
d. Ibn Hibban : Malik adalah orang pertama
yg memilih para tokoh ahli fiqh di Madinah, menghindari orang yg tidak dapat
dipercaya, tidak meriwayatkan kecuali yg shahih, dan hanya menceritakan dari
orang yg terpercaya (thiqoh). Ada sebuah hadis yg diriwayatkan oleh Tirmidzi,
yg bebunyi: "Nyaris orang-orang memukul perut unta untuk mencari ilmu,
tapi ternyata mereka tidak menemukan seorang pun yg lebih alim dari orang alim
Madinah" (hadis ini hasan menurut Tirmidzi) Ibn Unayah bilang orang alim
madinah tersebut adalah Malik. Imam Malik menulis kitab Al-Muwwaththo' selama
40 tahun. Selama kurun waktu tersebut, kitab itu ditunjukkan ke sekitar 75
orang ulama fiqh Madinah. Asy Syafi'i berkomentar tentang Al
Muwwaththo' :"Di muka bumi ini, tidak ada satu kitab pun - sesudah Kitab
Allah - yg lebih shahih daripada kitab Malik. Al Muwwaththo' memuat 6000 hadis
musnad (sanad bersambung sampai ke Nabi SAW/ Marfu'), 222 hadis mursal (sanad
hanya sampai sahabat), 613 hadis mauquf (sanad hanya sampai tabi'ien), dan 285
makalah Tabi'ien. Wallaahu a'lam bishshowab (Ditulis ulang dari kata pengantar
kitab Al-Muwwaththo' edisi terjemahan) Fatwa dan nasihatbesar dari beliau agar
berpegang teguh pada Sunnah Nabi antara lain : " Saya hanyalah seorang
manusia, terkadang salah terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah
pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah maka ambillah, dan bila
tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah." "
Siapapun boleh diambil dan ditolak perkataannya, kecuali Nabi shallalhu'alaihi
wasallam sendiri." - Ketika ditanya tentang Allah bersemayam di 'arsy
beliau menjelaskan " Al-Istiwau makluumun, wakaifiyatu majhuulun, wal
imanu bihi waajibun, wa sualu 'anhu bid'atun. (Al-Istiwa adalah maklum
maknanya. Adapun kaifiyahnya tidak dikenali. Mengimaninya adalah wajib dan
Mempertanyakannya adalah bid'ah)Beliau termasuk bahagian dari sanad-sanad emas
HADIT Imam Bukhari selain Imam Nafi'.
IMAM SYAFI Abū ʿAbdullāh
Muhammad bin Idrīs al-Shafiʿī atau Muhammad bin Idris
asy-Syafi`i
(bahasa Arab: yang akrab
dipanggil Imam Syafi'i adalah seorang mufti besarSunni dan juga
pendiri mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i juga tergolong kerabat
dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani
Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad. Saat usia 20 tahun, Imam
Syafi'i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar
saat itu,Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi
ke Irak, untuk berguru pada
murid-murid Imam Hanafi di sana. Imam Syafi`i mempunyai dua
dasar berbeda untuk Mazhab
Syafi'i. Qaul Qadim dan Qaulun Jadid.
Kelahiran dan kehidupan keluarga
Kelahiran
Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa
Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun diantara pendapat ini terdapat
pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang
berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam
Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang
ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu
Hanifah.
Nasab
Imam Syafi'i merupakan keturunan
dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke
dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris
bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin
Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin
Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin
Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin
Adnan. Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin
Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Kemudian juga saudara kandung
Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga
melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib
radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga
terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan
demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi
wa alihi wasallam . Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan
Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang
melahirkan Bani Mutthalib,
Masa belajar
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dua
tahun dari kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang.
Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat
menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i
berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari
Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,”
Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh
kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya
memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu,
maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih
setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar
fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid
Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud
bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin
Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah. Guru yang
lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim,
Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin
menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai
halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.
Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan
berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam
Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari
Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan
lain-lain. Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami
dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya
membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat
terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik. Beliau menyatakan kekagumannya
setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal : “Seandainya tidak ada
Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.”
Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila
datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.”
Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga
beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an,
lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca
Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.” Dari berbagai
pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau
kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping
itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang
ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin
Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya
Ibrahim bin Abi Yahya.
Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan
bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi
oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan
banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota
Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin
Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari
Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan yang lain.
Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun
195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Dan yang lain.
Di Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin
Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin
Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh
dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab
qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru
(madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan
Rajab 204 H.
Imam Ahmad bin Hanbal
Musnad al-Kabir atau lebih dikenal
degan Musnad Ahmad adalah salah satu dari sembilan kitab
hadits (kutubuttis'ah) yang dijadikan rujukan utama umat Islam Sunni. Kitab ini disusun olehImam Ahmad
bin Hanbal. Musnad ini terbagi menjadi beberapa musnad besar yang terdiri dari
beberapa musnad sahabat atau hadits sahabat. Musnad sahabat atau hadits sahabat
ini kemudian memuat beberapa hadits. Di antara kutubuttis'ah, kitab
ini merupakan kitab dengan jumlah hadits terbanyak.
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad
bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah
bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah
adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri
Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa,
tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan,
tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun
164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam
usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau,
Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa
pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani
‘Abbasiyah dan karena itu ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang
anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy,
berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah
meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka
tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang
sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam
Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi.
Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan
kemuliaan. Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota
Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang
penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta
penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli
HADITS, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya. Setamatnya menghafal
Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14
tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu
dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak
membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan
beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah
kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku
ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) HADITS, tetapi Ibu
segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan
berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’” Perhatian
beliau saat itu tertuju kepada keinginan mengambil HADITS dari para
perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang beliau
mengambil HADITS adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis HADITS
pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad
mengambil HADITS dari syaikh-syaikh HADITS kota itu hingga tahun 186. Beliau
melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin
Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan
oleh putra beliau bahwa beliau mengambil HADITS dari Hasyim sekitar tiga ratus
ribu HADITS lebih. Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan
ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan yang lain. Tokoh yang paling
menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke
Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil
HADITS dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat
memuliakan beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam
mengenal keshahihan sebuah HADITS. Ulama lain yang menjadi sumber beliau
mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin
al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau
berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah
menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula
bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin
‘Ulayyah.”
Demikianlah, beliau amat menekuni
pencatatan HADITS, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain
sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40
tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda
telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau
menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur).
Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang
senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni HADITS, memberi fatwa, dan
kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara
itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu)
HADITS, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari
beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah,
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain. Beliau menyusun
kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam
puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali
beliau mencari HADITS. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir,
tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh,
tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam
Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun
kitab al-Manasik ash-Shagir dan al-Kabir,
kitab az-Zuhud, kitabar-Radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-Zindiqah (Bantahan
kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah,
kitab al-Wara‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal,
kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il
ash-Shahabah.
Pujian dan Penghormatan Ulama Lain
Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada
Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar
mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan
berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil
ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah
itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah
al-Amin, tetapi Imam Ahmad tetap menolaknya.
Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui
Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang HADITS dan
perawi-perawinya. Jika ada HADITS shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah
aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya
jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam
Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya. Imam Syafi‘i juga
berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku
tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih
bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.” Abdul Wahhab al-Warraq
berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin
Hanbal.” Orang-orang bertanya kepadanya,“Dalam hal apakah dari ilmu
dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?”Al-Warraq
menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia
akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, ‘Telah
disampaikan HADITS kepada kami’.” Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku
tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang
lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di
sisinya jika menyampaikan HADITS kepada kami. Dia sangat menghormati beliau,
tidak mau berkelakar dengannya.” Demikianlah, padahal seperti
diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal
sebagai salah seorang imam huffazh.
Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan
seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang
alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk
di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah
selama rentang waktu 16 tahun.. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan
jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur asing
(non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun
menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan
al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit
kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke
dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India
dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk
bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai
macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah,
Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tazilah, dan lain-lain.
Kelompok Mu‘tazilah, secara khusus,
mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di
bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan
dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang
mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari
pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum
muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.. Sebenarnya
Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat
tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani
menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku
pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa
Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku,
jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia
dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun.’” Tatkala
Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok
Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin
menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka
mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin menerima
pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka.
Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara,
disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah
dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan
pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan
selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal
itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran,
termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang
hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan
makhluk. Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar
membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua
ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad
bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam
Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar
tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap
mendoakan al-Makmun. Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah
ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar
meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal
tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkan dari penjara lalu
dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan teman-temanya. Mereka mendebat beliau
tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan
yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan
diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama
sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat
dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu. Dan setiap harinya al-Mu‘tashim
mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak
berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia
mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras
dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan
penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari
penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan.
Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali
menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya,
al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya.
Dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad. Akibatnya, penduduk
Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar
berkumpul bersama orang-orang.Ahirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, dan
tidak bisa keluar bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah
pun tidak bisa. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu
sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil
naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang
kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia
menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya
larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati
bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para
ahli HADITS untuk menyampaikan HADITS tentang sifat-sifat Allah. Maka
orang-orang pun bergembira dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji
khalifah atas keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di
mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu
Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit
selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin
menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai
sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan
hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya
menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan
kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai
beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang
mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih
orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka
yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka
kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan
kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada)
hari kematian kami.”
Demikianlah gambaran ringkas ujian yang
dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan
diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau
bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari
kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya
itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau
sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan
keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua
orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada
Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal
pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah.”
Shahih Bukhari merupakan kitab
(buku) koleksi hadits yang disusun oleh Imam Bukhari(nama lengkap: Abu
Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja'fai) yang hidup
antara 194 hingga 256 hijriah. Koleksi hadits ini di kalangan muslim
Sunni adalah salah satu dari yang terbaik karena Bukhari menggunakan kriteria yang
sangat ketat dalam menyeleksi hadits. Ia menghabiskan waktu 16 tahun untuk
menyusun koleksi ini dan menghasilkan 2.602 hadits dalam kitabnya (9.802 dengan
perulangan).
Imam Bukhari
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari atau lebih
dikenal Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur
diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasaidan Ibnu Majah bahkan dalam
kitab-kitab Fiqih dan Hadits, hadits-hadits beliau memiliki
derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul
Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal
Ilmu Hadits). Dalam bidang ini,
hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Beliau diberi nama Muhammad oleh
ayah beliau, Ismail bin Ibrahim. Yang sering menggunakan nama asli beliau ini
adalah Imam Turmudzi dalam komentarnya setelah
meriwayatkan hadits dalam Sunan Turmudzi. Sedangkan kunyah beliau adalah Abu
Abdullah. Karena lahir diBukhara, Uzbekistan, Asia Tengah; beliau dikenal sebagai
al-Bukhari. Dengan demikian nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi
al-Bukhari. Ia lahir pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Tak lama
setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya.
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang
taat beragama. Dalam kitab ats-Tsiqat, Ibnu Hibbanmenulis bahwa ayahnya
dikenal sebagai orang yang wara' dalam arti berhati hati terhadap hal hal yang
bersifat syubhat (ragu-ragu) hukumnya terlebih lebih terhadap hal yang haram.
Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan murid dari Imam Malik, seorang ulama besar
dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di
Bukhara. pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci
terutama Mekkah dan Madinah, dimana dikedua kota
suci itu dia mengikuti kuliah para guru besar hadits. Pada usia 18 tahun dia
menerbitkan kitab pertama Kazaya Shahabah wa Tabi'in, hafal
kitab-kitab hadits karya Mubarakdan Waki bin
Jarrah bin Malik. Bersama gurunya Syekh Ishaq, menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu
kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan
80.000 perawi disaring menjadi 7275 hadits.
Bukhari memiliki daya hafal tinggi
sebagaimana yang diakui kakaknya, Rasyid bin Ismail. Sosok beliau kurus,
tidak tinggi, tidak pendek, kulit agak kecoklatan, ramah dermawan dan banyak
menyumbangkan hartanya untuk pendidikan.
Penelitian Haditsnya
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits
shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai
kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya.
Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz(Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari
sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah
kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau
mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hafal
kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang
sangat ketat diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung
dan apakah perawi (periwayat/pembawa) hadits itu tepercaya dan tsiqqah (kuat).
Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan
sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami'al-Shahil yang
dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Shahih Muslim
Al-Jami' atau biasa di kenal dengan Kitab
Shahih Muslim merupakan kitab (buku) koleksihadits yang disusun
oleh Imam Muslim (nama lengkap: Abul Husain Muslim
bin al-Hajjaj al-Naisaburi) yang hidup antara 202 hingga 261 hijriah. Ia merupakan murid
dari Imam Bukhari.
Koleksi hadits ini di kalangan umat muslim
adalah koleksi terbaik kedua setelah Shahih
Bukhari. Dari sekitar 300.000 hadits yang ia kumpulkan hanya sekitar 4000 yang
telah diteliti selama hidupnya dan dapat diterima keasliannya.
Shahih Muslim terbagi menjadi beberapa
kitab dimana tiap kitab terdiri dari beberapa bab. Judul bab tersebut
menunjukkan fiqih Imam Muslim terhadap hadits-hadits yang termuat di dalamnya. Shahih
Bukhari bersama dengan kitab Shahih Muslim disebut sebagai ash-Shahihain (Dua
Kitab Shahih rujukan utama). Dalam menyusun kitab Shahihnya, Imam Muslim tidak
memberikan nomor. Di kemudian hari ditambahkan nomor pada Shahih Muslim untuk
memudahkan perujukan hadits
Imam Muslim
Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj
al-Qusyairi an-Naisaburi atau sering dikenal sebagai Imam Muslim (821-875) dilahirkan pada tahun
204 Hijriah Beliau juga sudah belajarhadits sejak kecil
seperti Imam Bukhari dan pernah mendengar dari guru-guru
Al Bukhari dan ulama lain selain mereka. Orang yang menerima Hadits dari beliau
ini, termasuk tokoh-tokoh ulama pada masanya. Ia juga telah menyusun beberapa
karangan yang bermutu dan bermanfaat. Yang paling bermanfaat adalah kitab
Shahihnya yang dikenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini disusun
lebih sistematis dari Shahih Bukhari. Kedua kitab hadits shahih ini; Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim biasa disebut dengan Ash Shahihain. Kadua
tokoh hadits ini biasa disebut Asy Syaikhani atau Asy Syaikhaini, yang berarti
dua orang tua yang maksudnya dua tokoh ulama ahli Hadits. Imam
Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin terdapat istilah akhraja
hu yang berarti mereka berdua meriwayatkannya.
Ia belajar hadits sejak masih dalam usia
dini, yaitu mulai tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Irak,Syam, Mesir dan negara
lainnya.
Di Khurasan, ia berguru
kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin
Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin
Mahran dan Abu `Ansan. Di Irak ia belajar
hadits kepada Imam Ahmaddan Abdullah bin
Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa`id bin Mansur dan Abu Mas`Abuzar; di Mesir berguru
kepada `Amr bin Sawad dan Harmalah bin
Yahya, dan kepada ulama ahli hadits yang lain.
Beliau berkali-kali mengunjungi Baghdad
untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits, dan kunjungannya yang terakhir
pada 259 H, di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, beliau sering datang
kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika
terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada
Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli.
Muslim dalam Sahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan
hadits-hadits yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa
ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadits dalam Sahihnya, yang
diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat
Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalam Sahihnya hadits-hadits
yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai
guru.
Imam Muslim wafat pada Minggu sore, dan
dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari
Senin, 25 Rajab 261 H / 5 Mei 875. dalam usia 55 tahun.
Cara penulisan Shahih Muslim
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas
kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain,
karenaal-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya
dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits mu'an'an; agar
dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup
dengan "kemungkinan" bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak
adanya tadlis.
Al-Bukhari mentakhrij hadis
yang diterima para perawi tsiqqat derajat utama dari segi hafalan dan
keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadis dari rawi derajat berikutnya
dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua
dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi jalur
Muslim lebih banyak dibanding al-Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada
keunggulan Shahih Muslim beralasan - sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar, bahwa Muslim lebih
berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di
negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Ia juga
tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan.
Dan sejumlah alasan lainnya.
Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih
ketimbang hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada
umumnya kesahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih tinggi
daripada kesahihan hadits dalam Shahih
Muslim.
Shahih Ibn Khuzaimah
Al-Mukhtasar min al-Musnad al-Sahih, dalam
Sahih Ibn Khuzaymah pendek, adalah satu kumpulan hadis oleh Ibn Khuzaymah
Muatan-muatan Antara pungutan-pungutan Sahih setelah Sahih Bukhari dan Sahih
Muslim, Kitab ini dianggap terlalu bersamaan dengan Sahih Ibn Hibbaan dan Sahih
Abi 'Awana.
Nama Beliau adalah Abu Bakr Muhammad ibn
Ishaq ibn Khuzaymah dilahirkan di Nishabur satu tahun sebelum Ibn
Jarir al-Tabari dan hidup satu tahun lebih lama dari dia . Di Nishabur, dia
belajar dari banyak Ulama, termasuk Ishaq Ibn Rahwayh (wafat 238 AH), muhaddith
Khorasan pada waktu itu. Al-Hakim mencatat bahwa Ibn Khuzaymah menulis lebih
dari 140 kitab-kitab Kecil. Antara lain :
* Kitāb al-Tawḥīd wa-ithbāt ṣifāt
al-Rabb ʻazza wa-jall (کتاب التوحيد وإثبات صفات
الرب عز وجل): "Buku Itu
merupakan Penegasan Sifat-sifat Allah
* Shaʼn al-duʻāʼ wa-tafsīr al-adʻīyah
al-maʼthūrah (شأن الدعاء وتفسير الأدعية المأثورة
Sunan Abu Dawud merupakan
kitab hadits yang disusun oleh
Imam Abu Dawud, merupakan salah satu dari Kutubut
Tis'ah (sembilan kitab hadits utama di kalangan Sunni).
Sunan Abu Dawud terbagi menjadi beberapa
kitab dimana tiap kitab terdiri dari beberapa bab. Beberapa judul bab
menunjukkan fiqih Imam Abu Dawud terhadap hadits-hadits yang termuat di dalamnya.
Abu Dawud
Imam Abu Dawud (817 / 202 H –
meninggal di Basrah; 888 / 16 Syawal 275 H;
umur 70–71 tahun) adalah salah seorang perawi hadits, yang mengumpulkan
sekitar 50.000 hadits lalu memilih dan menuliskan 4.800 di antaranya dalam
kitab Sunan Abu Dawud.
Nama lengkapnya adalah Abu Dawud
Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani. Untuk mengumpulkan hadits, beliau
bepergian ke Arab Saudi, Irak, Khurasan, Mesir, Suriah, Nishapur,Marv, dan tempat-tempat lain, menjadikannya
salah seorang ulama yang paling luas perjalanannya.
Bapak beliau yaitu Al Asy'ats bin Ishaq
adalah seorang perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid, dan
demikian juga saudaranya Muhammad bin Al Asy`ats termasuk seorang yang menekuni
dan menuntut hadits dan ulumul hadith juga merupakan teman perjalanan beliau
dalam menuntut hadits dari para ulama ahli hadits.
Abu Dawud sudah berkecimpung dalam bidang
hadits sejak berusia belasan tahun. Hal ini diketahui mengingat pada tahun 221
H, dia sudah berada di Baghdad, dan di sana beliau dapat menyaksikan
wafat Imam Muslim, sebagaimana yang beliau katakan:
"Aku menyaksikan jenazahnya dan mensholatkannya Walaupun sebelumnya beliau
telah pergi ke negeri-negeri tetangga Sajistaan, seperti khurasan, Baghlan,
Harron, Roi dan Naisabur. Setelah beliau masuk kota Baghdad, beliau diminta
oleh Amir Abu Ahmad Al Muwaffaq untuk tinggal dan menetap di Bashroh,dan beliau
menerimanya,akan tetapi hal itu tidak membuat beliau berhenti dalam mencari
hadits.
Guru
Kemudian beliau mengunjungi berbagai
negeri untuk memetik langsung ilmu dari sumbernya. Dia langsung berguru selama
bertahun-tahun. Diantara guru-gurunya adalah Imam Ahmad, Al-Qanabiy, Sulaiman bin Harb, Abu Amr adh-Dhariri,
Abu Walid ath-Thayalisi, Abu Zakariya Yahya bin Ma'in, Abu Khaitsamah, Zuhair
bin Harb, ad-Darimi, Abu Ustman Sa'id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah dan ulama lainnya.
Murid
Demikian pula murid-murid beliau cukup
banyak antara lain, yaitu:
3. Abu Ubaid Al Ajury
4. Abu Thoyib Ahmad bin Ibrohim Al Baghdady
(Perawi sunan Abi Daud dari beliau).
5. Abu `Amr Ahmad bin Ali Al Bashry (perawi
kitab sunan dari beliau).
6. Abu Bakr Ahmad bin Muhammad Al Khollal Al
Faqih.
7. Isma`il bin Muhammad Ash Shofar.
8. Abu Bakr bin Abi Daud (anak beliau).
9. Zakariya bin Yahya As Saajy.
10. Abu Bakr Ibnu Abi Dunya.
11. Ahmad bin Sulaiman An Najjar (perawi kitab
Nasikh wal Mansukh dari beliau).
12. Ali bin Hasan bin Al `Abd Al Anshory
(perawi sunsn dari beliau).
13. Muhammad bin Bakr bin Daasah At Tammaar
(perawi sunan dari beliau).
14. Abu `Ali Muhammad bin Ahmad Al Lu`lu`y
(perawi sunan dari beliau).
15. Muhammad bin Ahmad bin Ya`qub Al Matutsy
Al Bashry (perawi kitab Al Qadar dari beliau).
Penyusunan Sunan Abu Dawud
Imam Abu Daud menyusun kitabnya di Baghdad. Minat utamanya
adalah syariat, jadi kumpulan hadits-nya berfokus murni
pada hadits tentang syariat. Setiap hadits dalam kumpulannya diperiksa
kesesuaiannya dengan Al-Qur'an, begitu pula sanadnya.
Dia pernah memperlihatkan kitab tersebut kepada Imam Ahmad untuk meminta saran
perbaikan.
Kitab Sunan Abu Dawud diakui oleh
mayoritas umat Muslim sebagai salah satu kitab hadits yang paling autentik.
Namun, diketahui bahwa kitab ini mengandung beberapa hadits lemah (yang
sebagian ditandai oleh beliau sendiri, dan sebagian tidak).
Banyak ulama yang meriwayatkan hadits dari
beliau, di antaranya Imam
Turmudzi dan Imam Nasa'i. Al Khatoby mengomentari bahwa
kitab tersebut adalah sebaik-baik tulisan dan isinya lebih banyak memuat fiqh daripada
kitab Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim. Ibnul A'raby berkata,
barangsiapa yang sudah menguasai Al-Qur'an dan kitab "Sunan Abu
Dawud", maka dia tidak membutuhkan kitab-kitab lain lagi. Imam
Al-Ghazali juga mengatakan bahwa kitab "Sunan Abu Dawud" sudah cukup
bagi seorang mujtahid untuk menjadi
landasan hukum.
Beliau adalah imam dari imam-imam Ahlussunnah
wal Jamaah yang hidup di Bashroh tempat berkembangnya aliran Qadariyah,
demikian juga berkembang disana pemikiran Khowarij, Mu'tazilah, Murji'ah dan
Syi'ah Rafidhoh serta Jahmiyah dan lain-lainnya, tetapi walaupun demikian
beliau tetap dalam keistiqomahan terhadap Sunnah dan beliaupun membantah
Qadariyah dengan kitabnya Al Qadar, demikian pula bantahan beliau
atas Khowarij dalam kitabnya Akhbar Al Khawarij, dan juga membantah terhadap
pemahaman yang menyimpang dari kemurnian ajaran Islam yang telah disampaikan
oleh Rasulullah. Maka tentang hal itu bisa dilihat pada kitabnya As Sunan yang
di dalamnya terdapat bantahan-bantahan beliau terhadap Jahmiyah, Murji'ah dan
Mu'tazilah.
Beliau wafat di kota Bashroh tanggal 16
Syawal 275 H dan janazahnya disholatkan oleh Abbas bin Abdul Wahid Al Haasyimy.
Sunan atturmudzi
Kitab ini adalah salah satu kitab karya
Imam Tirmizi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolong salah satu
"Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia
hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmizi, dinisbatkan
kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmizi. Namun nama
pertamalah yang popular.
Sebagian ulama tidak berkeberatan
menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan
Sahih Tirmizi.
Imam Tirmidzi
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At
Turmudzi (lebih dikenal sebagai Imam Turmudzi/At Turmudzi/ At
Tirmidzi) adalah seorang ahli hadits. Ia pernah belajar
hadits dari Imam Bukhari. Ia menyusun kitab Sunan At
Turmudzi dan Al Ilal. Ia mengatakan bahwa dia sudah pernah
menunjukkan kitab Sunannya kepada ulama ulama Hijaz, Irak dan Khurasan dan mereka
semuanya setuju dengan isi kitab itu. Karyanya yang mashyur yaitu Kitab
Al-Jami’ (Jami’
At-Tirmizi). Ia juga tergolonga salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok
Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal.
Al Hakim mengatakan "Saya pernah
mendengar Umar bin Alak mengomentari pribadi At Turmudzi sebagai berikut; “
Imam Bukhari wafat tidak meninggalkan murid yang lebih pandai di Khurasan
selain Abu 'Isa At Turmudzi dalam hal keluasan ilmunya dan
hafalannya."
Perkembangan dan
lawatannya
Kakek Abu ‘Isa at-Tirmizi berkebangsaan
Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya
bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari
ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai
negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain.
Dalam lawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru
hadits untuk mendengar hadits yang kemudian dihafal dan dicatatnya dengan baik
di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan
kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah.
Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari
ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia
mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud.
Bahkan Tirmizi belajar pula dari sebagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi
Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad
bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan
lain-lain.
Murid-muridnya
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari
dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl,
Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun,
al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas
Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya,
dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa aat-Tirmizi diakui oleh para
ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula
sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Salah satu
bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan
oleh Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah
bin Abu Dawud, yang berkata:
"Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmizi
berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya
telah menuslis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru.
Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia,
mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya
menemuinya. Saya mengira bahwa "dua jilid kitab" itu ada padaku.
Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang
mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya
untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia
membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang
dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan
sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu
kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia
bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun
membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau
hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi
agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh
buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata:
‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama
sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti
engkau."
Pandangan para kritikus hadits
Para ulama besar telah memuji dan
menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim
Muhammad ibn Hibban, kritikus hadits, menggolangkan Tirmizi ke dalam kelompok
"Siqat" atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya,
dan berkata: "Tirmizi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits,
menyusun kitab, menghafal hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para
ulama."
Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya
‘Ulumul Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmizi adalah seorang
penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia
memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya
diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang
yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang
berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan
derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang
hadits yang sangat mendalam.
Wafat
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk
belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir
kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup
sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmizi meninggal
dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892) dalam usia 70 tahun.
Sunan An Nasaai/Al-Sunan al-Sughra
Kitab As-Sunan
as-Sughra yang dikenal sebagai Sunan an-Nasa'i atau Al-Mujtaba
ialah salah satu dari enam kitab hadis utama Ahli Sunah Waljamaah, yang telah dikumpulkan oleh Imam al-Nasa'i. Ahli Sunah Waljamaah menganggap kitab ini sebagai kitab
ketiga paling kuat dalam enam kitab hadis utama mereka
Kitab al-Sunan
al-Sughra ini mempunyai sekitar 5270 hadis (termasuk yang Mukarrar,
yiaitu, riwayat yang berulang) yang dipilih al-Nasa'i dari karya utamanya al-Sunan
al-Kubra. Bagaimanapun, kitab pertamanya ini turut memasukkan hadis hasan
di samping hadis sahih
Al-Nasā'ī (214 – 303 /.
829 – 915), nama lengkapnya ialah Aḥmad ibn Shu`ayb ibn Alī ibn Sīnān Abū `Abd
ar-Raḥmān al-Nasā'ī, adalah salah satu pengumpul hadis terkemuka dan penulis
satu dari enam Kitab Sunan yang diakui oleh Umat Islam, Sunan
al-Sughra, atau "Al-Mujtaba", dipilih dari "As-Sunan
al-Kubra". Serta 15 buku lain.
Dia dilahirkan di Nasā
(sebuah kota di Khorasan) kira-kira 829 (214 H), Dia berada Mesir untuk
sementara waktu, dan kemudian di Damascus. Dia meninggal di 915 (303 H),
dibunuh oleh suporter-suporter Umayyads setelah berbicara dengan bebas terhadap
mereka. Tempat pemakaman terakhirnya tidak diketahui mungkin di Mekah atau
Ramalah (Palestina).
al-Nasa'i meninggal
dunia dan termasuk satu kematian yang fkejam dalam memuji Ali dan mengumumkan
Mu'awiya di Damascus, yang kemudian dalam genggaman Ali yang menentang demam
didorong oleh Umayyads. Ibn Khallikan dalam Wafayatnya al-ayan, rekaman
kejadian yang membunuh al-Nasa'i: "Abd al-Rahman Ahmad corong tampung 'Ali
corong tampung corong tampung Shu'ayb 'Ali corong tampung Sinan corong tampung
Bahr al-Nasa'i, sarjana hadis utama usia dan penulisnya satu Sunan, atau
kumpulan hadiths, adalah satu penduduk Old Cairo, di mana kota
pekerjaan-pekerjaannya memperoleh ke dalam peredaran, dan di mana dia juga
sudah banyak murid."
Muhammad ibn Ishaq
al-Isfahani memberikan rekening berikut ini kematiannya: “Saya mendengar
orang-orang tua kita dalam Old Cairo menghubungkan yang Abu 'Abd al-Rahman
[al-Nasa'i] meninggalkan Mesir ke arah akhir hidupnya dan pergi ke Damaskus, di
mana dia telah diminta apa dia ingat Mu'awiyah dan apa hadiths dia tahu
mengenai jasa-jasa yang pangeran; untuk yang mana dia membuat jawaban ini: 'Ia
tidak kemudian cukup untuk Mu'awiyah untuk masuk (ke dalam keputusan Allah)
pada satu tempat berpijak sama dengan lainnya? Haruskah dia bahkan menjadi
dipuji di atas mereka dengan jasa-jasa khusus?!'"
"Tetapi beberapa
menghubungkan yang jawabannya adalah: 'Saya tidak tahu hadis apa pun
"mengenai" dia spesial "jasa" tetapi ini: "Mei Tuhan
belum pernah mengenyangkan kamu perut!'""Sekarang sarjana ini adalah
seorang pembela untuk hak-hak khalif 'Ali: jadi orang-orang mulai menyerang dia
pada sisi, juga tidak mereka menghentikan hingga mereka mendorong dia dari
mesjid. (Dalam satu lagi laporan ia dikatakan bahwa mereka menabrak dia pada
biji dan menapak dia dalam kaki.) Dia kemudian melahirkan kepada Ramla, di mana
dia kedaluwarsa.” Akan tetapi, sarjana hadis memasukkan 29 narrations pada ahli
Mu'awiyyah dalam Sunannya. Tigabelas dari mana tidak ditemukan dalam yang lain
Six Books.[2] Ini menunjukkan bahwa dia tidak dilawan kepada Mu'awiyyah, ketika
beberapa boleh menganggap. Seandainya dia, dia akan menghindari pencantuman apa
pun Hadith diceritakan oleh Mu'awiyah biar bagaimanapun. Bin 'Asakir rekaman
bahwa bila Imâm al-Nasâ'i telah diminta tentang Mu'awiyyah, dia menjawab:
"Islam seperti sebuah rumah dengan satu pintu.
Sunan Ibn Majah : adalah salah satu dari
Kitab kumpulan Hadith dan termasuk salah satu dari Kutub tis’ah, dikumpulkan
oleh Ibn Majahdan memuat lebih dari 4,000 hadis terdiri dari beberap
kitab dan bab, Ibn Majah dilahirkan di sebuah kota di Qazwin. Umat
islam menganggap kumpulan ini sebagai kitab keenam Kutub sitta. Namun posisi
ini tidak diselesaikan hingga abad ke-14 atau kemudian. Sebagian Ulama
seperti al-Nawawi (d. 676 / 1277) dan Ibn Khaldun (d. 808 / 1405)
mengeluarkan Sunan Ibn Majah dari buku-buku yang diberlakukan secara umum
sebagaimana kitab-kitab Sunan yang lain, dan menggantinya dengan
Muwattho’ Malik atau dengan Sunan al-Darimi.
Nama beliau adalah
Abū ʻAbdillāh Muḥammad ibn Yazīd Ibn Mājah al-Rabʻī al-Qazwīnī,
(824 / 209 M—887 / 273) biasa dikenal sebagai sebutan Ibn Mājah,
adalah termasuk ulama Hadith priode pertengahan. Dia mengumpulkan terakhir dari
enam Kutub sitta,
Ibn Mājah dilahirkan di
Qazwin, sekarang termasuk salah satu Propinsi di Iran, dalam 824 M / 209 H
dalam sebuah keluarga yang kebanyakan adalah bekas budak yang dimerdekakan
(mawla) dan Rabīʻah Mājah adalah julukan ayahnya, dan tidak ada dari kakek
ataupun ibunya yangmmiliki sebutan dengan itu.
Dia pergi meninggalkan
kota kediamannya untuk menjelajahi dunia Islam mengunjungi Irak, Makkah, Levant
dan Mesir. Dia belajar dari Abū Bakr ibn Abī Shaybah, Muḥammad ibnʻAbdillāh ibn
Numayr, Jubārah ibn al-Mughallis, Ibrāhīm ibn al-Mundhir
al-Ḥizāmī, ʻAbdullāh ibn Muʻāwiyah, Hishām ibn ʻAmmār, Muḥammad ibn
Rumḥ, Dāwūd ibn Rashīd dan yang lainnya dari masa mereka. Abū Yaʻlā al-Khalīlī
memuji Ibn Mājah sebagai "dapat dipercaya (thiqah), terkemuka, bersetuju,
satu otoritas keagamaan, menguasai pengetahuan dan kemampuan untuk menghafalkan
Menurut al-Dhahabī, Ibn Mājah meninggal pada kira-kira 19 Februari, 887 CE /
dengan delapan hari tersisa bulan ini Ramadan, 273 Hatau, menurut al-Kattānī,
baik pada 887 / 273 atau 889 / 275. Dia meninggal di Qazwin.
Al-Dhahabī menyebutkan
berikut inibeberapa karya Ibn Mājah:
* Sunan Ibn Mājah: satu
dari enam Kutub sitta
* Kitāb al-Tafsīr:
sebuah buku Tafsir Al Qur'an
* Kitāb al-Tārīkh:
sebuah buku sejarah
Sunan Ibn Majah terdiri
dari 1,500 baba dan kira-kira 4,000 hadis. Stelah menyelesaikanya, dia
membacanya kepada Abū Zurʻah, ahli hadis waktunya, yang mengomentari.
Sunan al-Darimi : atau Musnad
al-Darimi ditulis oleh `Abdullah ibn `Abd al-Rahman al-Darimi (181H–255H)
adalah termasuk salah satu dari Kutub Tis’ah yang menjadi pedoman Umat
Islamsebagaimana Al-Muwattha’ dan Musnad Imam Ahmad.
Walaupun tidak disusun sebagaimana Musnad ataupun Kitab-Kitab Sunan.
Al Darimi wafatnya tidak
diketahui secara pasti tetapi rupanya setelah 293 H. Sesudah itu ia memberikan
kepada:
* `Abdullah ibn Ahmad
ibn Hamawiya al-Sarkhasi (293–381 H)
* `Abd al-Rahman ibn
Muhammad ibn Muzaffar al-Dawudi "Jamal al-Islam" (374–467 H)
* Abu'l-Waqt `Abd
al-Awwal ibn `Isa ibn Shu`ayb al-Sijizzi (458–553 H
Imam Baihaqi nama lengkapnya
adalah Abubakar Ahmad bin Husain bin Ali bin Abdullah al-Baihaqi (bahasa Arab: أبو بكر أحمد بن الحسين بن علي بن عبدالله البيهقي), Beliau adalah seorang ulama ahli fiqh, ushul fiqh, hadist, dan salah seorang
tokoh utama dalam mazhab
Syafi'i.
Imam Baihaqi dilahirkan di Khasrujard,
Baihaq, yaitu di Naysabur di Persia (sekarang provinsi Khorasan, Iran) pada tahun 994. Ia
mempelajari hadist dan mendalami fiqh mazhab Syafi'i,
dan dalam hal akidah mengikuti mazhab Asy'ari. Dalam
pencarian ilmunya, ia mendatangi para ulama di Baghdad, Kufah, dan Mekkah,
sebelum akhirnya kembali lagi ke Baihaq.
Pengajaran
Imam Baihaqi kemudian mengajar di
Naysabur, dan menjadi orang pertama yang mengumpulkan naskah-naskah fiqh Imam Syafi'i dalam
kitabnya Al-Mabsuth, sekaligus menjadi penyebar fiqh mazhab
Syafi'i. Imam al-Haramain al-Juwaini berkomentar tentang pemahaman Imam Baihaqi
terhadap mazhab Syafi'i:
"Tidak ada pengikut mazhab Syafi'i
yang mempunyai keutamaan melebihi Baihaqi, karena karyanya dalam mengembangkan
mazhab dan pendapat Syafi'i."
Sedangkan Imam adz-Dzahabi pernah berkata
mengenai keluasan ilmunya, bahwa kalau Al-Baihaqi menghendaki, maka ia mampu
membuat mazhab sendiri karena keluasan ilmu dan pemahamannya akan
masalah-masalah khilafiyah.
Al-Mustadrak alaa al-Sahihain adalah termasuk
salah satu kitab Hadith yang ditulis oleh Hakim al-Nishaburi pada . 405H.
Dia menulisnya dalam
tahun 393 H (1002–1003 M), ketika dia berumur 72 tahun. Ia
mengumpulkan lebih dari 9045 hadis dan menuntut semua hadis di
dalamnya menurut ketentuan-ketentuan salah satu Sahih Bukhari atau
sahih Muslim atau keduanya
Akan tetapi hal itu
tidak diterima oleh sejumlah Ulama terkemuka kemudian sebagian Ulama seperti
Al-Dhahabidan Ulama Madzhab Shafi'i abad ke-14 membuat satu Kitab
yang disingkat menjadi kumpulan Hadith dan diberi nama “Talkhis al-Mustadrak”
di mana mereka mengomentari tentang kesahihanya. Sebagaimana telah
menjadi kebiasaan para Ulama.
Dhahabi juga telah
menulis bahwa al Mustadrak mengumpulkan banyak hadîth yang menyesuaikan dalam
ketentuan kesahihan keduanya (Al-Bukhârî dan Muslim) serta sejumlah hadîth yang
sesuai dengan ketentuan-ketentuan salah satu dari Kitab-kitab Sunan.
Nama lengkap Beliau :Abu Abd-Allah
Muhammad ibn Abd-Allah al-Hakim al-Nishaburi (. 403 H)
Mu’jam Imam Tabrani
* Al-Mu'jam Al-Kabir - diterbitkan dalam 25 jilid berisi 7800 halaman
* Al-Mu'jam Al-Awsat
* Al-Mu'jam As-Saghir
Imam Tabrani
Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Al-Tabrani lahir sekitar
tahun 260 H (873 M) dan tinggalsampai 360 AH (970 M). Dia meriwayatkan banyak hadis.
Dari kalangan murid-muridnya adalah: 'Amr bin Ahmad bin Abdul-Khaliq Al-Basri dan Abu BakarAl-Bazzar.
Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub
bin Mutair Allkhmi Tabaraani, meninggal pada (360 AH).
Banyak Ulama mengatakan
buku ini menyebutkan penulis dalam buku terjemahan, seperti: Abu Khalkan, Abu
Yala, Ahmed, al Bazaar, dan banyak ulama telah mengatakan bahwa mereka mendapat
manfaat dari buku ini juga, seperti yang dikutip Hafidz al Mundhiri, Al-Hafiz
Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari di lebih dari (70) subjek, dan Manaawi dalam
Fathl Qadeer di lebih dari (69) subjek.
Deskripsi dan
cara nya:
Pendekatan dalam Mu’jam
Tabaraani diringkas dalam beberapa hal berikut:
1 - mulai dengan
menyebut Sahabat-sahabt terkemuka, dan kemudian mengikuti mereka dengan
menyebut sepuluh Sahabat yang dijanjikan surga.
2 - mengatur nama-nama
sahabat dengan urutan Huruf Hijaiyah,
3 - pada awal setiap
sebutan Sahabi menerjemahkannya dan kemudian menjelaskan wafatnya
4 - Jika Anda bertemu
dengan serangkaian percakapan tentang masalah apa judul nya tepat berjudul,
seolah-olah mengatakan: ". Bab juga"
5 - Siapa
yang tidak memiliki novel ini Rasul Allah (atau kemajuan, mengutip kematiannya
ingat untuk buku Maghazi, dan tanggal ilmuwan untuk berhenti pada jumlah
narator dengan dia):
6 - Jika ada sebutan
sejumlah sahabat dalam nama yang dipilih dan memiliki maka diberi
judul husus juga.
7 - Jika mengadakan
pembicaraan beberapa Sahabi pada satu subjek, penulis menemukan bahwa ada
narasi lampiran Sahabi terakhir untuk topik ini, mengingatkan bahwa
itu tidak berada di bawah terjemahan pendamping itu,
ALKAFIE adalah salah satu
dari empat buku paling penting dalam rujukan kaum Syiah, yang ditulis oleh
Sheikh Mohammed bin Kulayni Yakub. Beliau lahir di paruh kedua dari abad ketiga
di kota Persia dan Beliau meninggal pada 329 Hijriah.
* 1 alasan untuk
menulis buku
* 2 bagian dari buku ini
* 3 posisi buku
*
Menurut Sheikh Horr Ameli al Kulayni menanggapi beberapa permintaan, ia menulis buku
ini sebagai jawaban dari apa yang saudara minta dan untuk
menghilangkan kebodohan Aku bilang jika kau memiliki
buku ini maka berarti Anda telah menguasai seluruh ajaran agama dengan benar
demi kedamaian sejati, semoga Allah memberkati dia dan keluarganya. Dan aku
berkata: kalau itu menjadi alasan saya meminta kekuatan dapat mengklaim Allah
dan saudara-saudara kita mendamaikan, dan untuk menerima mereka. Alhamdulillah,
Allah senang dengan apa yang saya minta pada penulis, saya harus begitu memahami.
Apa pun yang ada di dalamnya dan tidak membatasi niat kami dalam menyajikan
nasihat, itu adalah karena saudara-saudara kita,
Bagian I berisi empat
buku: buku nalar dan kebodohan, dan penulis lebih suka ilmu pengetahuan, dan
Kitab Tauhid, dan argumen buku seperti mencari pengetahuan dan sejarah hidup
mereka dan hal-hal lain yang terkait dengan mereka), Bagian II berisi buku iman
dan percaya, dan Kitab doa
Termasuk bagian dari 3
sampai 7, yang dimuat dalam sebagian besar fikih Syiah, mulai dari Kemurnian zakat,
doa dan ziarah ... dll
Penulis dua puluh tahun
telah mengabdikan hidupnya dalam kumpulan ucapan-ucapan dari buku ini untuk
menempatkan urutan enam belas ribu Hadithsebagai berikut:
1 bahwa salah satu dari
empat buku dari Syiah dan yang paling teerkemuka setelah Quran.
2 Kulayni tinggal di era
Perwakilan Khusus Imam dan menulis sejak dari kecil
Begitu juga buku ini
banyak membicarakn tentang komunitas Imamiyah dan dibagi dalam beberapa bagian
sesuai dengan derajat masing-masing,
Sheikh Mohammed bin Yakub
al Kulayni lahir pada paruh kedua abad ketiga di desa Klein (38) kilometer dari
kota Rey, terletak di selatan ibukota Teheran. Mengambil alih ayahnya sejak
perawatan anak usia pendidikan, di mana pengetahuan tentang etika, dan baik
perilaku, dan moralitas Islam. Pamannya memiliki dampak yang besar pada
pendidikan adapun guru-gurunya adalah :
1. Abu al-Hasan
bin Muhammad Kufi al-Asadi.
2. Ahmed bin Mohammed
al-Asy'ari.
3. Sheikh Ahmed bin
Idris al-Asy'ari.
4. Ja'far bin Abdullah
Humairi.
5. Ahmad bin Muhammad
bin Asim Kufi.
6. Hassan Bin Fadl
bin Zaid al-Yamani.
7. Mohammed bin Hassan
al-Saffar.
8. Sahl bin Ziyad
al-Razi manusia.
9.
Muhammad bin Ismail Alnecabure.
10. Ahmed
Bin Mehran.
ARTI PENTING PENELITIAN HADITS
Sejarah panjang penghimpunan (pentadwinan)
hadis bukan merupakan suatu pelalaian terhadap hadis. Keberadaan hadis
telah didudukkan oleh sahabat dengan baik. Mereka dengan sangat hati-hati
dalam mengambilnya dalam menetapkan hujjah. Namun, niat baik
tersebut tidaklah disambut baik oleh mereka yang ingin merusak Islam dan mereka
yang berusaha menjustifikasi dan melegitimasi pemikirannya. Oleh karena itu,
muncullah berbagai upaya pemalsuan hadis dan inkar al-sunnah. Fenomena inkar
al-sunnah ada di setiap zaman dengan bentuk yang berbeda-beda. Mereka ini
merasa cukup dengan al-Qur’an saja.
Berbagai penjelasan
Rasulullah saw. atas al-Qur’an dan berbagai persoalan kehidupan umat Islam lain
yang tidak diakomodir oleh al-Qur’an, maka dimuat dalam hadis dan atau sunnah
yang sangat berperan dalam kehidupan umat Islam awal. Pijakan umat pada
generasi sesudah Rasulullah saw. adalah terletak pada pengganti Rasulullah saw.
Keberadaan hadis terus dijaga oleh sahabat dan generasi sesudahnya. Seiring
dengan luasnya kekuasaan Islam sunnah akhirnya meluas ke berbagai daerah dan
disepakati. Oleh karena itu, hadis berkembang luas dan ia ada merupakan suatu
fakta yang tidak terelakkan dalam sejarah. Mereka ini sangat hafal terhadap apa
yang didengar dan dilihat dari anutan mereka. Melalui fenomena ini Fazlur
Rahman menganggap berdosa secara historis. Namun, kontroversi yang muncul
adalah kapan hadis dibukukan? Ini merupakan perdebatan yang sengit di kalangan
orientalis dan pemikir Islam. Dari sisi kesejarahan inilah memunculan
pentingnya penelitian hadis. Sampai di sini, sunnah sudah menjadi opini publik
sampai pada abad ke-2 H. sunnah sudah disepakati oleh kebanyakan ulama dan
dipresenstasikan sebagai hadis. Hadis adalah verbalisasi sunnah. Oleh karena
itu, Fazlur Rahman menganggap upaya reduksi sunnah ke hadis ini telah memasung
kreativitas sunnah dan menjerat ulama Islam dalam memasang rumusan yang kaku..
Kaum muslimin sepakat
menerima sunnah dan menisbatkannya kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian sunnah
tersebut diformulasikan dalam bentuk verbal dan kemudian disebut dengan istilah
hadis. Dari sini jelas, bahwa sunnah merupakan proses kreatif yang terjadi
terus menerus sedangkan hadis adalah pembakuan secara kaku.
Hadis sudah terbukukan
dalam berbagai kitab hadis yang jumlahnya banyak dengan ragam metode penulisannya.
Dengan berbagai trend besar di dalamnya. Tentu saja, kitab-kitab yang beredar
di masyarakat tersebut tidak semuanya bernilai sahih. Masih banyak hadis-hadis
yang populer di masyarakat ternyata jika diteliti secara mendalam kualitasnya
lemah (da’if). Kenyataan tersebut belum menyentuh pada persolan esensial dari
sebuah hadis. Karena diskursus penelitian hadis (tahqiq al-hadis) hanya
berkutat pada persoalan keabsahan suatu hadis dilihat dari anasirnya. Inilah
yang banyak dilakukan ulama terdahulu dan acapkali masih sering dilakukan oleh
para pakar sampai saat ini karena tidak samanya paradigma yang digunakan oleh
ulama dalam menentukan kualitas hadis.
IV. FORMAT PENELITIAN DAN RAMBU-RAMBUNYA
A. Penentuan masalah dan
topik persoalan yang akan dibahas
Setiap penelitian
tentunya didahului adanya suatu permasalahan yakni adanya kesenjangan antara
das sein dan das sollen. Mencari persoalan ketidakadilan gender bukan merupakan
suatu persoalan yang mudah. Ada tidaknya jiwa sensitivitas gender dalam
kehidupan seseorang tergantung dirinya sendiri. Banyak orang di pedesaan yang
tidak mau tahu tentang persoalannya padahal kebayakan hak-dan kewajibannya
sering terabaikan. Masalah kesenjangan pendidikan dan perekonomian merupakan
dua buah persoalan mendasar dalam rangka untuk menumbuhkan ketidakadilan
gender.
Kenyataan tersebut
dibuktikan dalam penelitian baik di Indonesia maupun di negara lain seperti
Mesir tentang tradisi khitan perempuan. Tradisi tersebut tidak banyak ditemukan
di daerah perkotaan yang nota bene kebanyakan penduduknya telah mengalami
pendidikan yang tinggi.
1. Penggalian Data
Data yang berupa hadis
yang akan dikaji dapat diperoleh melalui penelusuran hadis lewat metode takhrij
al-hadis. Inti dari usaha ini adalah mecari hadis-hadis yang akan diteliti
dan keberadaannya dalam beberapa kitab hadis yang diinginkan untuk diteliti.
Metode ini dapat dilakukan melalui lima cara, yaitu:
a) Periwayat di tingkat sahabat. Kitab yang
digunakan adalah seperti kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal dan sebagainya.
b) Kata-kata tertentu dalam
Hadis.
Cara mencai hadis: berdasar matan hadis,
baik awal atau pertengahannya bahkan bagian-bagian lainnya dari hadis. Kamus
ini berisi sembilan kitab hadis: Sahih al-Bukhari, sahih Muslim, Sunan Abu
Dawud, Sunan al-Tirmizi, Sunan Ibn Majah, Sunan al-Nasa’i, Sunan al-Darimi,
Muwatta Imam Malik dan Musnad Ahmad ibn Hanbal.
c) Tema tertentu dari suatu hadis.
Dikemukakan beberapa topik baik berdasar petunjuk Nabi Muhammad saw. maupun
yang berkaitan dengan nama. Untuk setiap topik biasanya diikuti sub topik yang
didalamnya dijelaskan hadis-hadis dan kitab yang menjelaskannya.
ILMU TAKHRIJ DAN STUDI SANAD
Pengertian Takhrij Takhrij
menurut bahasa mempunyai beberapa makna. Yang paling mendekati di sini adalah
berasal dari kata kharraj yang artinya menampakan dari
tempatnya,Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadits
pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadits tersebut dengan sanadnya dan
menjelaskan derajatnya.
Sejarah Takhrij Hadits
Penguasaan para ulama terdahulu terhadap
sumber-sumber As-Sunnah begitu luas, sehingga mereka tidakmerasa sulit jika
disebutkan suatu hadits untuk mengetahuinya dalam kitab-kitab As-Sunnah. Ketika
semangat belajar sudah melemah, mereka kesulitan untuk mengetahui tempat-tempat
hadits yang dijadikan sebagai rujukan para ulama dalam ilmu-ilmu syar'i. Maka
sebagian dari ulama bangkit dan memperlihatkan hadits-hadits yang ada pada
sebagian kitab dan menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab As-Sunnah yang asli,
menjelaskan metodenya, dan menerangkan hukumnya dari yang shahih atas yang
dla'if. Lalu muncullah apa yang dinamakan dengan "Kutub
At-Takhrij" (buku-buku takhrij), yang diantaranya adalah :
1. Takhrij Ahaadits Al-Muhadzdzab;
karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi Asy-Syafi'I (wafat 548 H). Dan Al-Muhadzdzab ini
adalah kitab mengenai fiqih madzhab Asy-Syafi'I karya Abu Ishaq Asy-Syairazi.
2. Takhrij Ahaadits Al-Mukhtashar
Al-Kabir li Ibni Al-Hajib; karya Muhammad bin Ahmad Abdul-Hadi Al-Maqdisi
(wafat 744 H).
3. Nashbur-Rayah li Ahaadits
Al-Hidyah li Al-Marghinani; karya Abdullah bin Yusuf Az-Zaila'I (wafat 762
H).
4. Takhrij Ahaadits Al-Kasyaf li
Az-Zamakhsyari; karya Al-Hafidh Az-Zaila'I juga (Ibnu Hajar juga
menulis takhrij untuk kitab ini dengan judul Al-Kafi
Asy-Syaafi fii Takhrij Ahaadits Asy-Syaafi).
5. Al-Badrul-Munir fii
Takhrijil-Ahaadits wal-Atsar Al-Waqi'ah fisy-Syarhil-Kabir li Ar-Rafi'I;
karya Umar bin 'Ali bin Mulaqqin (wafat 804 H).
6. Al-Mughni 'an Hamlil-Asfaar
fil-Asfaar fii Takhriji maa fil-Ihyaa' minal-Akhbar; karya Abdurrahman bin
Al-Husain Al-'Iraqi (wafat tahun 806 H).
7. Takhrij Al-Ahaadits allati
Yusyiiru ilaihat-Tirmidzi fii Kulli Baab; karya Al-Hafidh Al-'Iraqi juga.
8. At-Talkhiisul-Habiir fii
Takhriji Ahaaditsi Syarh Al-Wajiz Al-Kabir li Ar-Rafi'I; karya Ahmad bin
Ali bin Hajar Al-'Asqalani (wafat 852 H).
Contoh :
Berikut ini contoh takhrij dari
kitab At-Talkhiisul-Habiir (karya Ibnu Hajar) :
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
berkata,"Hadits 'Ali bahwasannya Al-'Abbas meminta kepada Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam tentang mempercepat pembayaran zakat sebelum
sampai tiba haul-nya. Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam
memberikan keringanan untuknya. Diriwayatkan oleh Ahmad, para penyusun kitab
Sunan, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi; dari hadits Al-Hajjaj bin Dinar,
dari Al-Hakam, dari Hajiyah bin 'Adi, dari 'Ali. Dan diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi dari riwayat Israil, dari Al-Hakam, dari Hajar Al-'Adawi, dari
'Ali. Ad-Daruquthni menyebutkan adanya perbedaan tentang riwayat dari Al-Hakam.
Dia menguatkan riwayat Manshur dari Al-Hakam dari Al-Hasan bin Muslim bin Yanaq
dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dengan derajat mursal.
Begitu juga Abu Dawud menguatkannya. Al-Baihaqi berkata,"Imam Asy-Syafi'I
berkata : 'Diriwayatkan dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bahwasannya
beliau mendahulukan zakat harta Al-'Abbas sebelum tiba masa haul (setahun),
dan aku tidak mengetahui apakah ini benar atau tidak?'. Al-Baihaqi
berkata,"Demikianlah riwayat hadits ini dari saya. Dan diperkuat dengan
hadits Abi Al-Bakhtari dari 'Ali, bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi
wasallam bersabda,"Kami sedang membutuhkan lalu kami minta Al-'Abbas
untuk mendahulukan zakatnya untuk dua tahun". Para perawinya tsiqah,
hanya saja dalam sanadnya terdapat inqitha'. Dan sebagian lafadh
menyatakan bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda kepada
'Umar,"Kami pernah mempercepat harta Al-'Abbas pada awal tahun".
Diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi dari hadits Abi Rafi'" (At-Talkhiisul-Habiir halaman
162-163).
METODE TAKHRIJ
Dalam takhrij terdapat beberapa metode
yang diringkas dengan mengambil pokok sebagai berikut :
Metode Pertama, takhrij dengan cara
mengetahui perawi hadits dari shahabat
Metode ini dikhususkan jika kita
mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan hadits, lalu mencari bantuan dari
tiga macam karya hadits :
1. Al-Masaanid (musnad-musnad) :
Dalam kitab ini disebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh setiap shahabat
secara tersendiri. Selama kita telah mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan
hadits, maka kita mencari hadits tersebut dalam kitab al-masaanid hingga
mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
2. Al-Ma'aajim (mu'jam-mu'jam) :
Susunan hadits di dalamnya berdasarkan urutan musnad para shahabat atau syuyukh (guru-guru)
atau bangsa (tempat asal) sesuai huruf kamus (hijaiyyah). Dengan mengetahui
nama shahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya.
3. Kitab-kitab Al-Athraf :
Kebanyakan kitab-kitab al-athraf disusun berdasarkan
musnad-musnad para shahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika
seorang peneliti mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada
sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-athraf tadi
untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.
Metode Kedua, takhrij dengan
mengetahui permulaan lafadh dari hadits
Cara ini dapat dibantu dengan :
1. Kitab-kitab yang berisi tentang
hadits-hadits yang dikenal oleh orang banyak, misalnya : Ad-Durarul-Muntatsirah
fil-Ahaaditsil-Musytaharah karya As-Suyuthi; Al-Laali
Al-Mantsuurah fil-Ahaaditsl-Masyhurah karya Ibnu Hajar; Al-Maqashidul-Hasanah
fii Bayaani Katsiirin minal-Ahaaditsil-Musytahirah 'alal-Alsinah karya
As-Sakhawi; Tamyiizuth-Thayyibminal-Khabits fiimaa Yaduru 'ala
Alsinatin-Naas minal-Hadiits karya Ibnu Ad-Dabi' Asy-Syaibani; Kasyful-Khafa
wa Muziilul-Ilbas 'amma Isytahara minal-Ahaadits 'ala Alsinatin-Naas karya
Al-'Ajluni.
2. Kitab-kitab hadits yang disusun
berdasarkan urutan huruf kamus, misalnya : Al-Jami'ush-Shaghiir
minal-Ahaaditsil-Basyir An-Nadzir karya As-Suyuthi.
3. Petunjuk-petunjuk dan indeks yang
disusun para ulama untuk kitab-kitab tertentu, misalnya :Miftah
Ash-Shahihain karya At-Tauqadi; Miftah At-Tartiibi li
Ahaaditsi Tarikh Al-Khathib karya Sayyid Ahmad Al-Ghumari; Al-Bughiyyah
fii Tartibi Ahaaditsi Shahih Muslim karya Muhammad Fuad
Abdul-Baqi; Miftah Muwaththa' Malik karya Muhammad Fuad
Abdul-Baqi.
Metode Ketiga, takhrij dengan cara
mengetahui kata yang jarang penggunaannya oleh orang dari bagian mana saja dari
matan hadits
Metode ini dapat dibantu dengan
kitab Al-Mu'jam Al-Mufahras li Alfaadzil-Hadits An-Nabawi, berisi
sembilan kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab hadits, yaitu : Kutubus-Sittah,
Muwaththa' Imam Malik, Musnad Ahmad, dan Musnad Ad-Darimi. Kitab ini
disusun oleh seorang orientalis, yaitu Dr. Vensink (meninggal 1939 M), seorang
guru bahasa Arab di Universitas Leiden Belanda; dan ikut dalam menyebarkan dan
mengedarkannya kitab ini adalah Muhammad Fuad Abdul-Baqi.
Metode Keempat, takhrij dengan cara
mengetahui tema pembahasan hadits
Jika telah diketahui tema dan objek
pembahasan hadits, maka bisa dibantu dalam takhrij-nya dengan
karya-karya hadits yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara ini
banyak dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As-Sunnah yang berisi
daftar isi hadits yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan. ini mencakup
daftar isi untuk 14 kitab hadits yang terkenal, yaitu :
1. Shahih Bukhari 2.
Shahih Muslim 3. Sunan Abu Dawud 4. Jami'
At-Tirmidzi 5. Sunan An-Nasa'i
6. Sunan Ibnu Majah 7.
Muwaththa' Malik 8. Musnad Ahmad 9.
Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi
10. Sunan Ad-Darimi 11.
Musnad Zaid bin 'Ali 12. Sirah Ibnu
Hisyam 13. Maghazi Al-Waqidi
14. Thabaqat Ibnu Sa'ad
قال البخاري حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ
الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ
نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ أَيَّامَ الْجَمَلِ لَمَّا بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ كِسْرَى قَالَ لَنْ
يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَة صحيح البخاري كتاب النبي الى كسرى وقيصر , ص
1610
, تغير فصار يتلقن مالقن من كبار العاشرة مات في رجب سنة عشرين.- عثمان بن الهيثم بن جهم بن بن عيسى العبدي أبو عمرو البصري المؤذن
, تغير فصار يتلقن مالقن من كبار العاشرة مات في رجب سنة عشرين.- عثمان بن الهيثم بن جهم بن بن عيسى العبدي أبو عمرو البصري المؤذن
(تقريب التهذيب, ج1, ص378) وقال عنه الدار قطني يخطئ ( ذكر من تكلم فيه وهو موثوق وقيل انه في أخراه يتلقن مالقن
- عوف بن أبي جميلة بفتح الجيم الأعرابي العبدي البصري وهو ثقة رمي بالقدر وبالتشيع من السادسة ولعله من كبار السادسة التقى به عثمان بن الهيثم وروى عنه تقريب التهذيب,ج1,ص422
-أما الحسن هو الحسن بن عرفة والحسن بن صالح وكلاهما ثقة تكلم فيهما من الطبقة الثالثة والثانية ومنهم الحسن البجلي وهو يروي عن الإسرائيليات قيل فيه صدوق وقيل ليس بقوي وقيل منكر ذكر من تكلم فيه وهو موثوق ,ص67,68) ينتميان إليها ,
- عوف بن أبي جميلة بفتح الجيم الأعرابي العبدي البصري وهو ثقة رمي بالقدر وبالتشيع من السادسة ولعله من كبار السادسة التقى به عثمان بن الهيثم وروى عنه تقريب التهذيب,ج1,ص422
-أما الحسن هو الحسن بن عرفة والحسن بن صالح وكلاهما ثقة تكلم فيهما من الطبقة الثالثة والثانية ومنهم الحسن البجلي وهو يروي عن الإسرائيليات قيل فيه صدوق وقيل ليس بقوي وقيل منكر ذكر من تكلم فيه وهو موثوق ,ص67,68) ينتميان إليها ,
والحسن البصري هو ثقة ومن التابعين صفة الصفوة ج3 , 232 .
أما الصحابي أبو بكرة : قال ابن المديني : اسمه نفيع بن الحارث ، وكذا سماه ابن سعد . قال ابن عساكر أبو بكرة بن الحارث بن كلدة بن عمرو. وقيل: كان عبدا للحارث بن كلدة، فستلحقه ، وسمية : هي مولاة الحارث ، تدلى من الحصن ببكرة ، فمن يومئذ كني بأبي بكرة . وممن روى عنه: ولداه رواد ، وكيسة .وكان أبو بكرة ينكر أنه ولد الحارث ، ويقول : أنا أبو بكرة مولى رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فإن أبى الناس إلا أن ينسبوني ، فأنا نفيع بن مسروح . وقصة عمر مشهورة في جلده أبا بكرة ونافعا، وشبل بن معبد ، لشهادتهم على المغيرة بالزنى ، ثم استتابهم ، فأبى أبو بكرة أن يتوب ، وتاب الآخران . فكان إذا جاءه من يشهده يقول : قد فسقوني . قال البيهقي إن صح هذا، فلأنه امتنع من التوبة من قذفه ، وأقام على ذلك . قلت : كأنه يقول : لم أقذف المغيرة ، وإنما أنا شاهد ، فجنح إلى الفرق بين القاذف والشاهد ، إذ نصاب الشهادة لو تم بالرابع لما سموني بالقاذف لتعين القذف ولما سمو بالقاذفين
أما الصحابي أبو بكرة : قال ابن المديني : اسمه نفيع بن الحارث ، وكذا سماه ابن سعد . قال ابن عساكر أبو بكرة بن الحارث بن كلدة بن عمرو. وقيل: كان عبدا للحارث بن كلدة، فستلحقه ، وسمية : هي مولاة الحارث ، تدلى من الحصن ببكرة ، فمن يومئذ كني بأبي بكرة . وممن روى عنه: ولداه رواد ، وكيسة .وكان أبو بكرة ينكر أنه ولد الحارث ، ويقول : أنا أبو بكرة مولى رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فإن أبى الناس إلا أن ينسبوني ، فأنا نفيع بن مسروح . وقصة عمر مشهورة في جلده أبا بكرة ونافعا، وشبل بن معبد ، لشهادتهم على المغيرة بالزنى ، ثم استتابهم ، فأبى أبو بكرة أن يتوب ، وتاب الآخران . فكان إذا جاءه من يشهده يقول : قد فسقوني . قال البيهقي إن صح هذا، فلأنه امتنع من التوبة من قذفه ، وأقام على ذلك . قلت : كأنه يقول : لم أقذف المغيرة ، وإنما أنا شاهد ، فجنح إلى الفرق بين القاذف والشاهد ، إذ نصاب الشهادة لو تم بالرابع لما سموني بالقاذف لتعين القذف ولما سمو بالقاذفين
هدانا الله واياكم اجمعين
والله الموفق الى اقوام الطريق
والسلام....
Majelis Kanzul Karomi,
Belinyu, 02 /02 /2014
Syafaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar